Saat itu Zaid kesal, tak hentinya ia ngedumel, marah-marah dalam
hati. Bagaimana tidak, hidungnya dibuat merana menahan bau keringat orang di
sebelahnya yang seharian terpapar terik matahari. Shalatnya buyar tak ada lagi
khusyuk. Semua kesal berdesakan sudah dalam batinnya.
Sampai tiba salam,
menyudahi shalat ia dan seluruh jama’ah di masjid Al-Ikhlas. Masih dalam kesal,
Zaid lantas coba mencuri pandang, ingin tahu sosok yang sudah ‘merusak’
kekhusyukan shalatnya itu. Terlihatlah sosok lelaki tua, kulitnya coklat
setengah terbakar akibat terlalu sering beradu panas matahari, rambut yang
mulai berwarna putih tertutup peci yang lusuh, mungkin jarang dicuci, jemarinya
nampak keriput, alamat umur yang tak lagi belia. Lantas saja Zaid kaget bukan
main, bagaimana mungkin ia menghardik dalam batinnya kepada orangtua, durhaka
betul! Menyesal sudah ia berlaku demikian. “Tapi, bau itu.. ah, sungguh
keterlaluan”, batinnya.
Tak lama selepas shalat, dengan sedikit berdzikir,
lelaki tua itu bangkit dari tempatnya. Dengan sedikit terburu-buru, ia keluar
lewat pintu sebelah kanan masjid. Zaid masih menaruh pandang padanya, benaknya
masih saja kesal juga menyesal. Tiba-tiba saja lelaki tua tersebut
membungkukkan badannya dekat pintu, ia mengambil beberapa buah kemoceng cokelat
dengan satu tangannya, dan sebuah tas agak besar dengan tangan satunya lagi,
nampak keluar sedikit kepala kemoceng darinya.
Kaget bukan main Zaid! Ternyata lelaki tua tersebut
adalah seorang penjual kemoceng keliling. Bagaimana mungkin, seorang yang tua
membawa tas sebesar itu, berkeliling di panasnya kota Jakarta! Kasihan betul
bapak itu! Lalu berapa untung yang ia dapat dari menjual kemoceng demi
menghidupi anak istri dan mungkin juga cucunya! Berapa orang yang butuh
kemoceng setiap harinya?! Batin Zaid terus berkecamuk tak karuan. Ia lantas
menunduk malu, penuh sesal, dadanya semakin sesak. Bagaimana mungkin ia tak mau
maklum dengan bau dari lelaki tua yang berjuang menyambung hidup dengan cara
demikian. Terlebih lagi, lelaki tua itu masih sempat di tengah sibuk dan payahnya
berangkat menjawab panggilan Allah. Hati Zaid semakin sesak, matanya
berkaca-kaca.
***
sumber gambar: www.socimage.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar