Setiap pria punya kesan indah pada bidadarinya. Maka, bolehlah aku mengungkapkan kesan pada bidadariku yang begitu kusayangi.
Aku
memanggilnya ummi.
Mungkin aku
tak ingat bagaimana detik-detik saat kulitnya yang lembut harus bersimbah
keringat -bahkan darah- saat berjuang melahirkanku, tapi aku tak akan pernah
lupa bagaimana cintanya deras mengalir, seperti saat kumenangis pertama kali
dalam pangkuan ia yang masih lemah usai melahirkan. Aku tak pernah tahu apa
rasanya dan bagaimana payahnya masa-masa sembilan bulan hingga aku mulai dapat
menalar dunia, tapi kudapati Firman Allah menceritakan dalam Al-Quran.[1]
Memoriku bisa
saja luntur akan hari-hari kecilku, tapi bidadariku tak sedikit pun terganti
apalagi hilang dalam hati dan pikiranku. Tentu aku masih ingat kesan-kesan
cinta dalam hidupku bersamanya. Banyak sekali, tak cukuplah kuceritakan semua.
Lagipula, ceritaku belum tentu sebaik peristiwa yang terjadi, seperti tutur
pepatah Arab: “Tak serupa antara kabar dengan melihat langsung”. Tulisanku bisa
saja hambar mengisahkan. Tapi, akulah yang paling mengerti letupan-letupan
makna yang dikandungnya. Maafkan jika kelak hanya aku yang paling menikmati
kisah ini. Ah, ummi juga pastinya.
Sesekali kupejamkan
mata, meraba memori rasa, merasakan kembali pancaran cinta yang tak
berkesudahan dari bidadariku. Lembut tangannya menenangkanku dalam belaian.
Sekujur tubuhku seketika hangat dalam pelukannya. Aku yang kecil punya obat
gelisah dalam dekapannya. Rengekku sirna dalam buaiannya, lembut, kasih sayang,
penuh cinta, serta tulus. Siang malam tak mampu lagi jadi pembatas waktu ummi
merawatku.
Sejenak aku
berdiam merenung, membuka lembaran kisah cinta yang tak punya akhir ini.
Getaran suaranya me-ninabobok-kan aku yang lelah. Saat kecil, ummi selalu
kisahkan cerita nabi-nabi sebelum tidur, indahnya. Aku pernah dihukum ayah
karena nakal tak mau pergi mengaji, usapan kasih sayang ummilah yang
menyembuhkan. Ummi yang membisikkan lembut di telingaku saat ada teman nakal
yang membuatku marah, lalu seketika aku senyum dalam ketenangan. Tepukannya
selembut sutra membangunkanku pagi hari saat becak langganan ke TK sudah
menunggu. Tepuk aku lagi, Ummi! Aku ingat memori, saat sore ummi membersihkan
halaman rumah, sedang aku mondar-mandir bermain, sesederhana itu. Tapi, tahukah
kau? itu sungguh indah.
Tak ada yang
lebih bahagia saat kecil aku terkena hepatitis A, lalu suapan air gula ummi
berikan bersama cemasnya doa agar sembuh lekas kurasa. Juga aroma masakan yang
seolah diciptakan khusus untuk selera lidahku. Oleh-oleh sepulang ummi mengajar
layaknya kado datang dari surga. Semua yang ummi beri tak punya kurang di
penerimaanku.
Hati ibu itu
sangatlah dalam, begitu juga hati ummi, dan di relung hatinya yang terdalam,
engkau akan selalu temukan pintu maaf. Pernah diam-diam aku cemas dan malu,
ragu antara diam atau berkata jujur, tapi aku yang masih kecil coba kumpulkan
tekad yang besar, aku meminta maaf kepada ummi karena tanpa izin mengambil uang
jajan dari dompet ummi, dua ribu rupiah, tak ada ragu ummi tersenyum memaafkan
sembari menghadiahkan nasihat padaku. Aku layaknya anak-anak lain, punya
kenakalan masa kecil. Tapi, tak pernah teguran ummi berujung pada kebencian,
selalu berbalut kasih sayang juga maaf. Tentu kini aku tak akan bebuat nakal
demi meraih maaf ummi, bukan? Maafnya mendahului kesalahan buah hatinya.
Aku tak
seperti anak-anak kebanyakan yang senatiasa diantar pergi ke sekolah. Tahun
2000, pertama kalinya kupijakkan kaki di Ibukota Jakarta. Hari itu adalah
pertama bagiku mengenakan seragam merah putih. Hanya hari-hari pertama
berseragam SD ummi mengantarku, setelahnya aku berjalan kaki sendiri ke
sekolah, begitu pula kakak-kakak dan adikku, kecuali jarak sekolah jauh, kami
biasa bersepeda atau diantar jemputan. Tapi, tahukah kau bahwa aku tak pernah
sendiri? Ya, doa-doa ummi yang mengalir bersama kecupan salam saat pergi
sekolah tak pernah ketinggalan menemaniku, mengantarku, duduk di sampingku, dan
setia menyertaiku pulang.
Aku percaya,
air mata itu buah cinta. Bahagia atau sedih, keduanya berlandas cinta saat air
mata jatuh. Semua mataku menyaksikan saat cintanya padaku membuat air mata ummi
membasahi pipinya yang suci; mata kepala, mata hati, dan mungkin saja mata
kakiku. Apakah kulit dan anggota tubuh lain juga punya mata? Entahlah, namum
kelak mereka akan bersaksi pada hari akhir akan semua kebaikan ummi. Tak pernah
kulihat ummi begitu sesenggukan menitikkan air mata kecuali saat kakak
perempuanku pertama kali merantau. Juga saat aku di pesantren, kerap kali ummi
tak kuasa menyembunyikan kesedihannya berpisah denganku, bahkan aku bisa
mengetahuinya walau hanya lewat telepon. Namun, satu yang membuatku begitu
bahagia, saat ummi meneteskan air mata haru, bahagia, dan bangga saat aku maju
memberikan sambutan wisuda pesantren. Kelak aku akan melakukannya lagi, Ummi.
Ummi selalu
khawatir akan aku, akan semua anak-anaknya. Terlebih saat kami tak berada di
dekatnya. Maafkan aku ummi, aku harus merantau dan membuatmu khawatir. Pernah aku
sakit dan untuk pertama kalinya dirawat di rumah sakit. Saat itu demamku sedang
tinggi-tingginya, aku masih sadar, kulihat raut wajah ummi begitu cemas.
Kebetulan ayah tak ikut jaga karena harus mengisi acara di luar kota. Sepulang
ayahku, kondisikulah yang diadukan ummi ke ayah. Dengan lembut ummi memberiku
kompres air hangat. Bahkan kompres hangat itu tak mampu kalahkan hangatnya
doa-doa ummi. Maafkan aku ummi, aku selalu membuatmu khawatir.
Aku tahu bahwa
doa-doa ummi menembus langit. Aku tahu tak ada doa ummi melainkan terselip
dalamnya doa untuk buah hatinya. Lihatlah, bagaimana kemudahan hidupku selama
ini, kemudahan aku dalam belajar, kemudahan dalam setiap urusanku, kemudahan
kami anak-anaknya. Demi Allah, aku ingin menjadi salah satu amal ummi ayah yang
tak pernah putus. Aku ingin menjadi anak sholeh yang tak pernah berhenti
panjatkan doa untuk mereka.
[1] QS.
Luqman: 14, QS. Al-Ahqaf: 15, QS. An-Nahl: 78
Hadiah terbaik di hari lahirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar