Serial Pejuang: Ikhlas



Hidup berarti berjuang. Berhenti berjuang berarti mati.


Ketetapan Allah membentangkan jalan menuju kesuksesan dan hasil yang dinamai perjuangan. Tak ada jalan pintas. Maka para nabi pun melintasi jalan perjuangan yang paling terjal. Tak ada kisah sukses yang lahir dari mimpi semata, sebagaimana ungkapan Umar ra. bahwa langit tak pernah hujan emas. Maka berjuang adalah keniscayaan.

Seorang pejuang suatu ketika berhenti dalam perenungan. Matanya kosong menatap rembulan, hatinya gundah menerka-nerka. Kecamuk pikiran menyitanya semalam suntuk. Berkata dalam dirinya mengapa kerja kerasku tak pernah dianggap? Bukan ia tak pandai bekerja, bukan pula ia diam tak berkontribusi, namun tak habis pikir apresiasi tak kunjung ia terima.

Berbisiklah ia pada nurani, mencoba membangunkan hati yang tertidur lalai. Untuk siapa ia berjuang? Pada siapa usaha ini dipersembahkan? Dan harapan apa yang sebenarnya diinginkan?

“Ikhlas”, begitu dalam kata itu menghujam kalbunya. Seperti orang linglung yang baru pertama kali mengenal kata itu. Mata hatinya terbelalak, tersadarkan, dan terenyuh. Lalu ia baca petuah Sang Mujaddid, Hasan Al-Banna, “Sungguh yang kuinginkan dari makna ikhlas adalah seorang muslim menjadikan tujuan perkataanya, perbuatannya, dan perjuangannya, seluruhnya untuk Allah, untuk meraih ridho-Nya, serta mendapat ganjaran terbaik dari-Nya..”

Sampai sini ia terdiam. Mencoba mencerna setiap kata. Mencoba memikirkan gelisah yang selama ini ia rasakan. Sebab banyak perjuangannya hanya berlalu tanpa ukiran terimakasih. Bukankah tak adil saat aku lebih banyak berjuang daripada yang lain, tapi tak sedikitpun usahaku diperbincangkan? Bukankah tak adil saat aku lebih banyak aktif di saat yang lain hampir tak peduli, lalu aku dianggap seakan baru pertama kali muncul? Bukankah tak adil saat aku sudah lebih banyak memulai disaat yang lain diam, lalu aku tetap tak dihargai? Bergumam keras kalimat-kalimat itu dalam pikirannya.

Jemarinya bergerak di antara tulisan melanjutkan kalimat Sang Mujaddid, “..tanpa sedikitpun engkau berharap pada harta, atau kedudukan, atau gelar, atau kemajuan atau kemunduran..”. Barulah ia sadar sepenuhnya makna ikhlas itu. Barulah ia ingat bahwa pengharapannya selama ini jauh dari makna ikhlas. Sadarlah ia bahwa perjuangan yang susah payah masih ternodai dari kemurnian ikhlas.

Siapa dari kita yang tak gundah saat berjuang tapi tak dianggap? Adakah yang tak sedih saat berusaha baik tapi tak menuai apresiasi? Saudaraku, di saat itulah ujian keikhlasan Allah berikan. Cara Allah selalu baik dalam menaikkan derajat hamba-Nya. Dan tak ada ujian yang tak berat. Angin yang menerpa pucuk selalu lebih kencang dari angin yang menerpa pangkal.

Wahai pejuang, teruslah beramal walau tak ada sanjungan, teruslah berkarya walau tak dilihat, dan teruslah berjuang walau tak dihargai. Berjuanglah hanya karena Allah, berjuanglah sampai engkau menggapai ridho Allah, berjuanglah sembari mengharap hadiah terbaik yang Allah janjikan, sebab Allah Maha Melihat dan tak pernah tidur, sebab malaikat tak pernah luput mencatat, dan sebab setiap amal akan diganjar.

Maka Sang Mujaddid menutup pesannya, “Dengan demikian, jadilah ia pejuang ideoligi dan keyakinan, bukan pejuang ambisi dan kepentingan pribadi. ((Katakanlah: Sesungguhnya shalat-ku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)) (QS. Al-An’am 162-163). Dengan demikian, pahamlah seorang muslim makna slogan abadinya ‘Allah tujuan kami’ dan ‘Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah’".
________
10 Ramadan 1439 H, bulan yang mengajarkan makna perjuangan.
sumber gambar: pixabay.com

@rajimaulah

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar