Mengapa Berbeda Awal Ramadhan dan Syawal?

ojielem.blogspot.com

Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma ‘Allimnaa Maa Yanfa’una Wanfa’naa Bimaa ‘Allamtana Warzuqnaa Fahmaa...
Alhamdulillah, wasshalatuwassalamu ‘alaa Rasulillah wa ba’du
Ramadhan merupakan bulan yang begitu penting bagi kalangan umat Islam, oleh karenanya penentuan awal Ramadhan juga merupakan suatu hal yang sama sekali tak bisa kita abaikan. Dalam perhitungan bulan Islam atau yang lebih dikenal dengan penanggalan Qamariyah ditentukan berdasarkan perputaran bulan yang pada perhitungannya akan menghasilkan dua pilihan, apakah itu 29 hari ataukah 30 hari, berbeda dengan penanggalan bulan Masehi atau syamsyiah yang jatuh antara 29, 30, bahkan sampai 31 hari dalam satu bulan.
الشَّهْرُ تِسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ, فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Bulan itu 29 malam, karenanya janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika dia terhalangi dari kalian maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30. (HR. Al-Bukhari no. 1907)
Pada kenyataannya, khususnya di Indonesia, penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal atau idul fitri senantiasa mengalami pebedaan dan tak jarang terjadi perdebatan panjang di dalamnya.
Namun sangat disayangkan, sebagian besar masyarakat Indonesia justru tidak mengetahui bagaimana akar permasalahannya, tidak mengetahui mengapa bisa terjadi perbedaan tersebut, sehingga pada akhirnya mereka hanya sekadar ikut-ikutan saja tanpa mengetahui dasar yang jelas dari perbedaan tersebut, bahkan lebih buruk lagi dari itu sampai kepada sikap taklid buta kepada suatu golongan atau pendapat, padahal hal ini jelas-jelas dilarang oleh agama.
Oleh sebab itulah maka ada baiknya bagi kita mengetahui dasar-dasar dalil dan juga pemikiran yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal penentuan ini.
Secara umum awal penetuan Ramadhan dan juga satu Syawal itu berlandaskan firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah yang menerangkan perintah berpuasa ketika telah melihat bulan atau hilal:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ 

مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
185. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...
Kemudian dijelaskan metode penetuannya langsung oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari:
 صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ 
Dan dalam lafazh Imam Muslim
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته . فإنْ غُمِّيَ عليكم الشهرَ فعدُّوا ثلاثينَ
Dari dalil di atas maka timbullah perbedaan pendapat dikalangan ulama dan ormas di Indonesia dalam menafsirkan kata رُؤْيَتِهِ  (Melihat) disini. Sebagian besar para ulama, ormas, termasuk pemerintah/pemimpin meyakini yang dimaksud kata Ru’yah disini berarti melihat secara langsung baik dari segi waktu maupun indra penglihatan. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang akan penulis utarakan di bawah ini yang melatarbelakangi timbulnya penafsiran lain terhadap kata Ru’yah ini oleh sebagian golongan menjadi bermakna “mengetahui” bukan “melihat” berdasarkan hadits Nabi yang menerangkan tentang Shalat:
صلُّوا كما رَأيْتُمُوْنِيْ أصلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (muttafaqun ‘alaih)
Di dalam hadits ini diartikan kata رَأيْتُمُوْنِيْ Raaytumuunii (kalian melihatku) itu diartikan sebagai “kalian mengetahuiku”, karena tidak mungkin lagi kita melihat secara langsung bagaimana Rasulullah SAW shalat, akan tetapi bermakna shalatlah kalian dengan mengetahui aku shalat, baik dari hadits-hadits maupun sirah Nabawiyah.
Dari sinilah timbul golongan yang menganggap bahwa penentuan awal Ramadhan dan Syawal juga bermakna kita mengetahui adanya hilal (bulan) dan tidak mesti dengan melihat langsung adanya hilal karena kondisi geografis Indonesia yang sangat sulit untuk melihat hilal secara langsung bahkan dengan bantuan teknologi sekalipun.
Lalu apa saja faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penafsiran seperti diatas?
Pertama, pengalaman berulang-ulang hampir setiap tahun penentuan awal Ramadhan dan Syawal di Indonesia sangatlah sulit ditentukan dengan melihat hilal secara langsung bahkan dengan bantuan teknologi dikarenakan letak geografisnya. Berbeda dengan negara-negara Arab misalnya yang dapat melihat hilal bahkan dengan mata kepala telanjang.
Kedua, meng-qiyas-kan atau penyandingan hadits tentang Ru’yah hilal dengan tata cara shalat dalam memahami kata Ru’yah tadi.
عِلْمٌ بِوُجُوْدِ الهِلَال مَعَ عَدَمِ رُؤيَتِهِ
“Mengetahui adanya Hilal walaupun tanpa melihatnya”
Contohnya mengetahui adanya hilal dengan perhitungan ilmu pengetahuan dengan menghitung posisi derajat bulan terhadap bumi.  Kalaupun terlihat nantinya, bulan sudah melebihi batas derajat awal mulainya bulan, artinya seharusnya kita sudah mulai puasa atau lebaran kemarin ketika bulan belum terlihat, karena ketika terlihat bulan sudah tinggi.
Dari sinilah mereka menjadikan penentuan awal Ramadhan dan Syawal dengan metode perhitungan jumlah hari dalam bulan Qamariyah atau yang lebih kita kenal dengan metode “Hisab”.
Adapun golongan kedua yaitu golongan yang menafsirkan hadits Ru’yah hilal tersebut dengan mengartikan kata Ru’yah dengan “melihat" hilal.
Pada penjelasan sebelumnya telah kita ketahui, bahwa kondisi geografis Indonesia menjadikan Negara ini sulit untuk melihat hilal secara langsung bahkan dengan bantuan teropong sekalipun. Lalu bagaimana cara kita menetukan awal Ramadhan dan Syawal jika tidak dapat melihat munculnya hilal? Dalam hadits tersebut maka Rasulullah SAW menjelaskan “Apabila terhalang (karena satu dan lain hal) untuk melihat (hilal tersebut) maka sempurnakanlah jumlah bulan menjadi 30 hari”.
Dari sinilah digelar sidang penentuan awal bulan atau kita kenal dengan “sidang itsbat” yang dihadiri oleh para ulama dan ormas tanah air dalam hal ini dipimpin oleh pemerintah. Apabila dilaporkan bahwa ada yang berhasil melihat hilal kemudian bersumpah atas laporannya tersebut maka dimulailah puasa esok harinya atau mulailah kita berlebaran esok harinya. Akan tetapi jika tidak ada yang berhasil melihat hilal karena satu dan lain hal, baik itu karena awan, cuaca dan lain sebagainya, maka jumlah bulan disempurnakan menjadi 30 hari barulah kemudian mulai berpuasa atau berlebaran.
Pada pendapat yang ini, terdapat beberapa poin yang menjadi landasan penentuan awal Ramadhan atau Syawal dengan cara tersebut bukan dengan menganggap makna Ru’yah adalah “mengetahui” seperti pendapat yang pertama.
Pertama, penafsiran hadits Ru’yah hilal dengan memaknai kata “Ru’yah” dengan arti “melihat”, tanpa menyandingkan dengan kata Ru’yah dalam hadits “tata cara shalat”.
Kedua, sabda Nabi SAW yang menerangkan apabila satu dan lain hal tidak dapat melihat hilal maka diperintahkan untuk menyempurnakan jumlah bilangan bulan menjadi 30 hari.
Sekarang pertanyaannya adalah pada pendapat yang manakah kita, khususnya masyarakat Indonesia harus ikut?

Kemudian para ulama menjelaskan, bahwa disinilah peran ulil amri atau pemimpin sebagai penengah yang memutuskan. Maka dalam kondisi seperti ini adalah wilayah kewenangan pemimpin dalam hal ini pemerintah untuk mengambil satu keputusan berdasarkan musyawarah demi menghindari perbedaan dan perpecaran dikalangan umat islam dan mengedepankan kebersamaan. Menyangkut hal ini akan kita lihat landasan-landasan yang menguatkan pendapat tersebut pada penjelasan berikutnya.
Setidaknya ada beberapa poin yang harus kita jadikan pertimbangan dalam memilih dua pendapat diatas, karena sejatinya kedua-duanya merupakan Ijtihad yang apabila salahpun masih mendapat satu pahala. Maka pertama-tama kita anggap kedua ijtihad ini adalah benar karena sama-sama memiliki dalil dan alasan yang benar serta berlandaskan.
Kemudian kita lihat dari sisi kemashlahatannya, mana yang lebih banyak mendatangkan mashlahat bagi umat Islam khususnya yang ada di Indonesia.
Poin-poin yang akan kita jadikan pertimbangan tersebut sebagai berikut:

1. Esensi kebersamaan
Dalam hal ini, ikhtilaf merupakan suatu anugrah dan hal yang mustahil kita hilangkan disebabkan adanya beberapa pendapat yang berbeda. Masing-masing memiliki landasan. Akan tetapi, apakah kita karena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) ini membuat kita menyampingkan kebersamaan umat Islam, sementara kebersamaan itu merupakan hal yang wajib. Maka harus ada golongan minoritas disini yang harus menyampingkan egonya agar dapat menerima pendapat mayoritas demi terciptanya kebersamaan.

2. Menaati pemimpin
Dalam hal ini pemerintah. Maka apapun keputusan pemerintah selama tidak bertentangan dengan syariat Islam maka wajib hukumnya bagi kita untuk menaatinya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى  اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan Pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Annisa)
Bahkan terhadap pemimpin yang zhalim-pun kita diperintahkan untuk bersabar terhadap perintahnya.
مَنْ رَاى مِنْ أمِيْرِهِ شَيْئاً فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ فَإنّهُ لَيْسَ أحَد يُفَارِقُ الجَمَاعَة شبرا فَيَمُوْتُ إلّا مَاتَ مَيتَة ًجَاهِلِيَّةً
“Siapa yang melihat pada amirnya (pemimpin) sesuatu yang dibencinya, hendaklah dia tetap sabar dengan sebab tersebut. Sesungguhnya tidaklah seseorang itu keluar dari Jama’ah (tidak mentaati pemerintahnya) walaupun sejengkal, lalu ia mati dalam keadaan tersebut (keluar dari ketaatan terhadap pemimpin), maka matinya itu adalah mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, 22/51, no. 6610)
Dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud pemimpin adalah pemimpin tertinggi dalam hal ini Pemerintah Negara bukan pemimpin golongan atau ormas tertentu.
Jadi apa salahnya kita mengikuti keputusan pemerintah/pemimpin dalam hal penentuan awal Ramadhan atau Syawal ini, terlebih perintah itu bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama, melainkan merupakan salah satu bentuk ijtihad yang disyariatkan.

3.       Fatwa ulama tentang perbedaan dalam suatu Negara dalam masalah ini.
Merupakan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa adalah sebuah ‘aib bagi suatu Negara apabila terdapat dua idul fitri dalam satu Negara/kepemimpinan. Dalam bukunya “konsep bid’ah dan Toleransi fiqih”, Dr. Abdul Illah bin Husain Al’Arfaj mengatakan:
“Dibanding Zaman sebelumnya, di zaman sekarang ini persatuan lebih kita butuhkan. Oleh karenanya, sebaiknya perselisihan hanya ada dalam tatanan teori dan tidak merembet dalam tatanan praktik, demi menjaga persatuan, menghindari timbulnya fitnah (musibah), dan memperkokoh bangunan Islam”

4.       Mencegah anggapan musuh bahwa Islam itu lemah.
Tidak adanya kesatuan dan sikap toleransi dalam masalah-masalah ijtihadiyah dan furu’ dapat menjadikan indikasi bahwa tidak adanya kekuatan dalam tubuh umat Islam. Hal inilah yang nantinya akan dipandang oleh musuh-musuh Islam bahkan oleh Negara Islam lainnya bahwa suatu Negara Islam dianggap lemah karena tidak adanya kemampuan bersatu dalam masalah ini. Lalu bagaimana mungkin bisa bersatu dalam hal-hal dan masalah-masalah yang jauh lebih besar jikalau dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal saja sulit untuk bersatu.

5.       Rasa kesenjangan dan keraguan dalam melaksanakan ibadah
Perbedaan awal Ramadhan dan Syawal secara tidak langsung akan mempengaruhi semangat kaum muslimin itu sendiri dalam melaksanakan ibadah baik puasa ataupun lebaran. Sebagian orang akan dibuat bingung dengan penetapan yang berbeda-beda terutama bagi orang awam dan tidak jarang menimbulkan keraguan yang berujung pada berkurangnya kualitas ibadah itu sendiri. Tidak jarang juga timbul perdebatan di antara kaum muslimin yang tentunya sangat mengancam keutuhan umat muslim itu sendiri.
Sekiranya beberapa alasan diatas dapat kita jadikan landasan kedepannya dalam menetukan kapan kita mulai berpuasa dan kapan kita mengakhirinya, tidak lagi hanya sekadar ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar-dasarnya sejara jelas.

6. Memutuskan perkara dalam musyawarah
Mungkin sebagian orang menganggap musyarawah atau sidang itsbat yang diadakan oleh pemerintah dipolitisasi dan ada unsur-unsur kepentingan sebagian orang di dalamnya. Maka saya katakan bahwa pertama-tama janganlah kita begitu cepat berburuk sangka atau suuzhan kepada orang lain apalagi terhadap ulama-ulama dan para kiai yang mengikuti sidang itsbat. Lalu, apakah mungkin kita begitu cepat menyimpulkan dan menganggap buruk kepada sidang tersebut sementara sidang tersebut dihadiri oleh perwakilan pakar-pakar dan ulama seluruh Indonesia. Saya kira mereka yang hadir dalam sidang tersebut lebih paham dan lebih dalam ilmunya dalam masalah ini. Cukuplah kita yakin dan terima terhadap hasil keputusan musyawarah, karena Allah SWT sendiri memerintahkan kita menyelesaikan suatu perkara dengan musyawarah, begitu pula yang dicontohkan oleh baginda Rasul SAW.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩

Artinya:
“Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : قَا لّ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُسْتَشَا رُ مُؤْ تَمَنٌ. (روا ه التر مذ ي و ابوداوود.

Artinya :
Dari Abu Hurairah ra. Berkata  : Rasulullah SAW bersabda “ Musyawarah adalah dapat di percaya.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Daud).

7. Pada akhirnya saling menghormati
Betul masing-masing kita punya dalil, punya argumen, akan tetapi dalam realita, perbedaan itu menjadi sebuah keniscayaan. Akan kita dapati orang yang menyelisihi awal Ramadhan atau Syawal kita. Olehnya sikap saling menghargai adalah wajib. Tak boleh kita saling mengumpat bahkan memutus silaturrahim hanya karena berbeda dalam masalah ini. Selama berlandaskan dalil, maka itu layak diterima. Bahkan sebelum kita paham seluk beluk suatu mazhab, membaca kitab-kitabnya, merujuk pendapat para ulamanya, maka sangat tidak pantas kita untuk mencela madzhab tersebut. Hanya orang bodohlah yang berkicau mengumpat sana-sini terhadap suatu pendapat yang jelas di situ terdapat perbedaan atau khilaf.

Sekiranya beberapa alasan di atas dapat kita jadikan landasan kedepannya dalam menetukan kapan kita mulai berpuasa dan kapan kita mengakhirinya, tidak lagi hanya sekadar ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar-dasarnya sejara jelas.

Adapun kelompok-kelompok lain diluar itu yang menetapkan awal Ramadhan dan Syawal yang jauh berbeda seperti dua atau tiga hari lebih dulu saya rasa mereka tidak memiliki dalil maupun landasan yang kuat yang bisa diterima para ulama dan dijadikan acuan.
Akhir kata, sedikitpun penulis tidak berniat untuk mendiskreditkan individu atau golongan tertentu, kalaupun ada yang menganggap seperti itu maka penulis terlebih dahulu meminta ampun kepada Allah ‘azza wa Jallaa dan meminta maaf kepada yang menganggap seperti itu dan penulis berharap hal tersebut tidak menjadi kekurangan bagi penulis.
Mudah-mudahan kita lapang menerimanya. Niat kita bersih dan kita bahu-membahu membangun bangunan Islam, sebagai ganti dari saling menghancurkan bangunan ini.
Allahua’lam bishshawaab…
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ ﴿١٤٧﴾  
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu
-QS. Al Baqarah 147-

Download File

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar