Mengapa Kau Bersedih ?

Hujan

Ditemani hujan yang membuat udara kering seharian ini menjadi sejuk, aku duduk sejenak untuk memandang langit yang mendung itu. Atap-atap merah dari rumah penduduk mengalirkan rintik lembut air hujan, kemudian jatuh dalam kubangan parit kecil di bawahnya. Sejenak tak ada keinginan untuk banyak beraktifitas, mengingat di dalam ruangan ini aku hanya bisa menunggu hujan hingga ia puas menumpahkan seluruh RahmatNya. Percikan air yang menghantam aspal seperti melompat-lompat gembira bersama kepulan lembut asap yang keluar, serta hawa panas dari aspal. Tetesan air di pucuk daun pun  terlihat begitu menawan, andai aku bisa menyentuhnya. Bola mataku terus berputar-putar mencari keajaiban hujan lainnya yang kupersembahkan untuk hati yang penat ini, berharap keajaiban hujan ini membawa ketenangan rasa.
       Asik rasanya pandangan ini terbang menembus kucuran air hujan, tiba-tiba pandanganku terhenti pada sesosok anak kecil yang duduk merangkul lututnya di ujung jalan. Kukernyitkan dahiku, berusaha menyipitkan pandangan agar jelas tertuju pada anak kecil itu. Bajunya kuyup sekujur tubuh. Topi yang ia kenakan sudah seperti payung berbahan katun, terlihat berat oleh air yang tak mau berhenti mengguyur. Kepalanya agak tertunduk, samar terlihat dimatanya genangan air. Sejenak pikirku genangan di pelupuk matanya itu datang dari air deras yang turun ini. Coba kuamati, bukan, ternyata itu bukan dari derasnya air langit ini. Sontak beratanya-tanya diri ini dalam hati, apa yang terjadi, ada apa dengan bocah yang duduk dibawah guyuran hujan tunduk berlinang air mata? Segera kutarik payung yang kusimpan rapih dalam loker. Saat kubentangkan di depan rumah, anginpun menyambut riuh bak sorakan penonton di konser musik. Tak peduli dengan itu, kuterjang air yang tak peduli apa yang ia hantam dibawahnya. Beberapa langkah diselingi lari-lari kecil, akhirnya aku sampai dihadapan anak kecil dengan tangan dan kepala masih sama ia posisikan seperti yang kulihat dari dalam kamar.
            Seruanku sedikit membuatnya tersontak. Seperti sedang menyembunyikan air mata dipelupuk matanya, ia membetulkan posisi topinya yang nyaris bertambah tiga kali beratnya karena guyuran hujan. Mulai kutanyakan padanya mengapa sendiri dalam derasnya air hujan ini. Kupikir ia tersesat. Malu-malu ia menjawab dengan suara lirih. Hari ini baru saja ia kehilangan arti sahabat dari teman sehari-harinya. Lalu kenapa ia tak pulang ke rumah lalu melampiaskannya dengan secangkir teh atau semacamnya. Seakan mengerti dengan pertanyaan yang kupikirkan ini, ia meneruskan jawabannya, ayahnya pergi tiga hari yang lalu. Hanya ibu menunggu di rumah, lalu dengan rasa penuh sakit hati, ia menjauh dan mencoba bersembunyi di bawah derasnya hujan. Berharap semua itu hilang bersama hujan dan membuangnya jauh-jauh ke parit yang kotor bercampur lumpur.
          Rasa heran tak mau hilang dari benakku. Segera kupahami hal yang ia rasakan. Terlalu pelik rupanya. Setelah ayah yang pergi, kini teman yang selalu ada menjadi keluarga kedua tak lagi ingin bersamanya. Ingin kutanya apa sebabnya. Tetapi rasa yang ia pendam membuatnya terus tertunduk tak peduli dengan tanyaku. Sambil sedikit menghela nafas, kuamati jalan sekitar yang semakin tergenang diguyur hujan, lalu kutatap langit yang gelap seperti berkabut. Sekali lagi tatapanku kembali pada anak itu yang terus tunduk. Ada baiknya kusarankan ia untuk pulang agar hujan ini tak membuatnya sakit. Tetapi sepertinya tak ada keinginan buatnya selain terus tertunduk dibawah guyuran hujan ini. Tak ingin situasi ini terus begini, lagipula aku juga tak ingin hujan ini membasahiku dan membuatku sakit.

Seketika kuingat sebungkus bola warna yang kusimpan di kantong celanaku. Kukeluarkan yang putih dan hitam. Kuraih tangan anak kecil itu. Lalu kuletakkan di tangannya dan menanyakan pendapatnya tentang dua warna bola itu. Sepertinya kedua warna itu tidak terlalu menarik baginya, terlalu kelam. Anggapnya kedua warna itu seakan mewakili seluruhh kesedihan dan pilu di muka bumi. Lalu kukeluarkan bola lain, hijau biru dan kuning. Kuberikan pada anak kecil itu dan kusuruh agar ia meletakkan bersama bola hitam dan putih tadi. Ia membaur, menjadikan hitam dan putih tadi menjadi beragam. Seperti itulah bola-bola ini menutupi warna kelam menjadi cerah, seperti itu pula kebahagiaan lain menutup sedih menjadi ceria dan penuh warna. Menutupi kesedihan dengan kegembiraan yang jauh lebih banyak dari pada kesulitan yang kita hadapi. Seolah mengerti maksud kata-kataku, anak kecil itupun lari pulang menembus rintikan hujan yang mulai reda, bersiap mengakhiri deras hujan dan angin kencang. Ia terus berlari tanpa peduli lagi dengan kesedihannya. dipenghujung jalan, ia sempatkan menoleh dan melambai bersama senyum bahagia di bibirnya. Kubalas bahagianya itu dengan senyum tipis sambil mengangguk. Satu hal yang kulupa, aku tak sempat menanyakan namanya...

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar