Teladan Seorang Guru

Teladan Seorang Gurur

Tak sengaja kami bertemu di musholla salah satu pusat perbelanjaan di jakarta. Awalnya tak kukenali sosoknya, karena aku biasa bertemu dengannya dalam tampilan berbeda, memakai gamis dan imamah yang rapih terpasang di kepalanya. Ia shalat isya dua rakat karena sedang dalam perjalanan (musafir) sementara aku shalat di belakangnya empat rakaat. Suaranya merdu, lembut persis ketika ia mengajar di kelasku. Ya, ia dosenku, namanya ustadz Subail. Tak banyak yang berbeda ketika bertemu dengannya di kelas maupun di luar kelas.

Usai shalat, kuhampiri ia yang sedang mengikat tali sepatunya. Tepat di depan musholla yang agak sepi. Wajahnya seketika penuh senyuman, senyumannya yang khas, seperti sedang bertemu dengan anaknya sendiri. Kami saling menyapa dan menanyakan kabar. Sesekali perkataannya dibumbuhi candaan. Aku hanya bisa tersenyum, takzim dengan sosoknya sebagai dosenku. Ia juga sempat menanyakan kabar teman-temanku. Tak sedikitpun ada rasa ingin cepat pergi dan mengakhiri pembicaraan denganku, padahal ia sedang bersama keluarganya dan sepertinya akan segera pulang. Aku sangat takjub, sosoknya sebagai dosen tak membuatnya enggan berbincang denganku. Pembicaraan kami santai seperti dua orang teman.

Dari tuturnya keluarlah nasihat-nasihat. Tak sedikitpun kuingat ada perkataan sia-sia dari mulutnya. Nasihat, teladan, dan hikmah memenuhi isi perkataannya. Sambil berjalan pelan, kutanyakan kabar keluarganya di Saudi. Ia habiskan sepekan liburan ini untuk pulang, bertemu dengan kedua orangtuanya. Lalu mulai keluar nasihat tentang birrul walidan (berbakti kepada kedua orangtua). Ia senantiasa menyempatkan bertemu dan menyapa kedua orang tuanya walau harus rugi dari sisi material, maklum tiket Indonesia-arab saudi tidak murah. Ia rela harus rugi hanya demi bertemu dengan kedua orangtuanya, walaupun sampai harus berhutang, begitu jelasnya. Ridha kedua orangtua, itulah yang dia cari. Aku begitu takjub, usianya yang kira-kira sudah berkepala empat tak sedikitpun lupa dengan orangtua. Bahkan ia terus berbicara tentang bagaimana kita harus menghormati dan menyayangi kedua orangtua.

Bisa kutangkap sedikit banyak nasihatnya. Manusia terkadang bisa untung dan mendapat kesempatan bagus dikarir hidupnya. Tetapi banyak dari mereka yang tidak mendapat keuntungan hakiki. Mereka lupa terhadap orangtuanya, mereka lupa meminta doa dari orang yang telah membesarkannya. Sehingga hatinya tidak mendapatkan kepuasan dan keuntungan yang hakiki. Sebaliknya, ada orang yang rela meninggalkan peluang, membuang kesempatan yang menguntungkan, dan mengeluarkan uangnya demi mendapatkan ketenangan dan keuntungan hakiki. Mereka menyempatkan diri bertemu kedua orangtuanya, meninggalkan kesibukan demi mendapatkan doa orangtua.

Sungguh itulah kebutuhan sejati kita, bukanlah orangtua yang butuh untuk dihormati, tetapi hakikatnya kitalah yang sangat butuh menghormati kedua orangtua kita. Di sanalah kita mendapatkan ketenangan hidup.

Doa, harapan, dan restu kedua orangtua, itulah kunci ketenangan dan suksesnya hidup kita. Aku sungguh tertegun mendengar nasihatnya. Nasihat yang begitu singkat namun sarat makna. Begitu dalam, menyadarkan lubuk hati kita yang selama ini lupa dari nasihat lama ini, berbakti kepada kedua orangtua.

Ia menasihatiku seperti menasihati anaknya sendiri. Aku sungguh merasakan kedekatan yang luar biasa. Kata-katanya penuh kepedulian. Tak ingin lama menahanku dalam pembicaraan ini, ia coba akhiri percakapan kami. Ia tak ingin mengganggu aktivitasku. Segera kuucapkan banyak terimakasih atas nasihat yang mendalam ini. Tapi apa jawabnya? “laa..laa..laa hadzaa laisa annashihah, bal huwa hadiits baynal akh wal ikhwaan” (tidak, tidak, ini bukan nasihat, ini cuma percakapan antara sesama saudara). Begitulah kerendahan hatinya. Ia tak hanya memberikanku nasihat, tetapi ia mengajarkanku keteladanan sikap antara guru dan muridnya.

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar