Cucuku, Sang Penerus

karya cerpen terbaik cucuku, sang penerus
foto oleh: flickr.com - karyaadhi

Oleh: Raji Luqya Maulah

25 derajat celcius, hujan telah berhenti. Keheningan menghampiri malam kota Bogor. Tetesan air hujan masih tersisa menari di dedaunan, sesekali jatuh mengenaiku. Kutarik resleting jaket hitamku, kurapatkan. Anak itu masih saja ceria, girang meloncat-loncat di antara genangan air. Kuraih tangannya, bergegas sebelum iqamat berkumandang. Sudah sebulan, semenjak kepergian kedua orangtuanya.

***

Sepuluh tahun kemudian

Pukul 13.00. Jam kepulangan anak sekolah, tetapi cucuku tak kunjung tiba di rumah. Mungkin ia sedang ada tugas tambahan di sekolahnya, pikirku. Maklum, akhir-akhir ini anak SMA sering disibukkan dengan kegiatan tambahan di sekolahnya, sehingga jarang pulang tepat waktu. Kumasukkan makan siang yang sejak tadi sudah siap ke lemari, sambil menunggu cucuku datang.

Tiba-tiba telpon rumah berdering. “kek, maaf Faris hari ini pulang terlambat, ada pembinaan untuk adik kelas”, ucapnya lewat telpon. Akhirnya kupersilahkan cucuku dan sedikit memberi pesan agar tidak terlalu larut pulang.

Sebulan kemudian barulah aku tahu bahwa ia kini rutin membina adik-adik kelas di sekolahnya. Sedikit heran karena sebelumnya ia tak pernah seperti ini. Kesehariannya dulu tak beda dengan pemuda pada umumnya. Bahkan tak jarang ia pulang terlambat bukan karena membina seperti sekarang, tetapi karena mampir bermain dengan temannya. Entah apa yang merubahnya. Tapi yang terpenting hatiku menjadi sedikit lebih tenang. Ia sudah menjadi lebih baik, pikirku.

Diumur yang tak muda lagi, sudah tak banyak yang bisa kuperbuat agar ia lebih baik. Paling tidak seperti yang seluruh orangtua inginkan kepada anaknya. Mungkin hanya sebatas nasihat dan kasih sayang yang saat ini kuberikan. Aku sering menasihatinya tentang tanggungjawab, kepemimpinan, karena ia laki-laki, dan perjuangan, seperti perjuangan ayah ibunya dulu. Aku ingin ia tumbuh menjadi dewasa dan menjadi harapan orang banyak.

Hari-hari mudanya berlalu. Tak seharipun kulewati tanpa terus memperhatikan aktivitasnya. Walau hanya sedikit yang kutahu saat ia sudah berangkat ke sekolah. Hingga suatu kesempatan kutanyakan apa kesibukannya di sekolah saat ini.

“Alhamdulillah, kek, sekarang Faris sudah mulai membangun umat”, sambil senyum ia berkata padaku.

Kukernyitkan dahiku, heran dengan apa yang ia ucap. “Membangun umat? Memang apa yang Faris lakukan?”, tanyaku heran.

“Iya, kek, membangun umat. Begini kek, sekarang Faris sudah pegang dua grup binaan. Masing-masing grup berjumlah lima orang. Kami rutin mengadakan pertemuan tiap pekannya, isinya kajian, diskusi dan saling evaluasi. Intinya pembinaan dalam skala kecil, kek, berbentuk kelompok”

“Lalu hubungannya dengan membangun umat?”, balasku masih penuh tanya.

“Kalau satu kelompok lima orang, berarti sekarang Faris membina sepuluh orang, nah bayangkan kek, kalau ada sepuluh orang seperti Faris yang membina paling tidak satu kelompok, berarti sudah ada lima puluh orang yang terbina. Nah, mereka yang dibina itu  nantinya juga bisa membina seperi Faris, jadi nantinya akan ada banyak sekali yang terbina. Nah dari situ muncul generasi-generasi yang terbina, mereka akan jadi penerus umat, kek”, jelasnya mantap.

Aku tersenyum, kagum dengan ucapannya. Sepele pikirku tadinya, tetapi betul-betul nyata apa yang dilakukan cucuku. Banyak orang yang berfikir terlalu banyak untuk melakukan perubahan, menunggu datangnya kesempatan terlalu lama, tetapi yang dia lakukan sungguh luarbiasa. Ia mulai dengan hal sederhana, tetapi betul-betul nyata mempersiapkan generasi penerus.

Tak terasa ia kini tumbuh dewasa. Jauh melebihi yang aku lihat ketika ia masih kecil.

Sepuluh tahun lebih semenjak kepergian kedua orangtuanya, tak ada sedih yang berlarut, ia tambah tegar, ia semakin mandiri.

***

“Faris”, sebuah papan ukuran sedang terpampang dengan tulisan itu. Hampir disetiap sudut, setiap sepuluh meter kudapati papan yang sama saat berkunjung ke kampusnya, salah satu universitas terbaik di Indonesia. Dua pekan lalu diadakan pemilihan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Kampus ini penuh pernak pernik kampanye, mengingatkanku pada lima belas tahun yang lalu. Pada suasana yang hampir sama.

“kakek!”, suara itu menghentikan lamunanku. Dengan senyum, lelaki tinggi kurus melambai kepadaku. Faris Ahmad, cucuku. Saat masih kecil, kedua orang tuanya meninggal dalam peristiwa kecelakaan mobil. Mulai saat itu aku membesarkannya. Merawatnya seperti anak kandung sendiri. Menyayanginya seperti aku menyayangi ibunya. Ia permata bagiku.

“Sebentar lagi aku akan pidato sambutan. Kakek masih ingat kan impianku selama ini yang terus kuceritakan ke kakek?”, matanya berbinar, tatapannya penuh semangat.

“apalagi semua mahasiswa bahkan dosen akan hadir, kek. Sulit dipercaya, aku akan mewujudkan impian itu dari sini, kek, di hadapan ratusan orang!”

Tak mungkin lagi aku padamkan gelora semangatnya yang membara. Aku tahu, aku mengerti segala impiannya, aku tahu melebihi apa yang ia ceritakan kepadaku. Kuberi isyarat agar ia bergegas mempersiapkan diri. Tatapku terus lekat padanya, sampai ia menghilang di belakang panggung. Segera aku mencari posisi yang nyaman untuk menyaksikan cucuku tampil di atas podium. Sementara orang-orang mulai berdesakan memenuhi tempat.

Tak berapa lama, gemuruh sorak-sorai mahasiswa mulai terdengar. Akupun berusaha tetap nyaman dan fokus agar bisa mendengar jelas pidato cucuku nanti. Sorak-sorai terdengar semakin kencang. “Faris...! Faris...! Faris...!”.

“Baik saudara-saudara sekalian, para dosen dan rektorat yang terhormat, mari kita sambut ketua BEM kita yang baru, Faris Ahmad!”

Sesaat setelah pemandu acara mempersilahkan, muncullah sosok gagah dan penuh percaya diri naik ke atas podium. Bunyi mic mulai berdengung. Sejenak suasana hening menggantikan gemuruh sorak-sorai mahasiswa. Aku tertegun.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh... yang saya hormati, para dosen dan rektorat, saudara-saudari rekan mahasiswa yang saya cintai dan saya banggakan..”, ia terdiam sejenak. Terlihat dadanya terangkat menarik nafas kecil.

“Dengan bangga kupersembahkan pidato ini untuk orang tercinta saya, kedua orang tua saya yang telah tiada dan sosok penuh kasih yang kini hadir membuktikan kasihnya, dialah kakek saya tercinta”. Entah apa yang kupikirkan saat itu, seakan aku tak percaya dan ingin menyuruhnya mengatakannya lagi.

“Karenanya saya mengerti apa itu impian, apa itu cita-cita besar, dan apa itu perjuangan. Melalui kampus ini, melalui lembaga ini, semoga menjadi awal saya menyalakan lentera islam yang dulu pernah berkilau terang, mewujudkan cita-cita besar para pejuang islam. Itulah impian besar saya!”

Tak penting apa yang telah ia raih sekarang. Tak penting apa yang kini ia duduki. Tetapi perjuangan, langkah kecil, dan keseriusan yang selama ini ia lakukan telah menjadi bukti amalnya, menjadi bukti perannya sebagai pemuda muslim.

Aku terhenyak, lunglai, bisu sudah lidahku. Tak ada yang mampu kuungkapkan. Impiannya melebihi apa yang telah kuajarkan padanya. Cita-citanya melampaui semua cita-cita pemuda kebanyakan. Tanpa sadar, pipiku sudah basah. Kupastikan betapa bangga kedua orang tuanya disana.

Cucuku, masa mudamu emas, tak peduli besar atau kecil peran yang kau berikan, kaulah pemuda muslim yang dinanti umat dan bangsa.
@rajimaulah
*tulisan ini masuk dalam 10 karya terbaik Sayembara Cerita Penndek Inspiratif yang diselenggarakan Universitas Indonesia-Islamic Book fair (UI-IBF) 2014.

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

4 komentar: