Seni dan Seniman

seni dan seniman memahat
image: athohirluth.lecture.ub.ac.id
Seolah tak ada ujung, seni terus tumbuh..

***

Baru saja mentari melirik malu-malu ke padang hijau. Membuat tarian air di dedaunan semakin berkilau. Bau hangat agak membakar sisa udara lembab disini. Oom tak sabar berlari ke pohon tumbang ulah hujan semalam. Kakinya kecil membajak lumpur, sementara pisau pahat dan kapak menenteng di tangannya. Entah siapa yang menyihirnya semangat seperti itu.

Terburu-buru ia korek bagian tengah batang yang masih basah. Mengambil kayu yang sudah terlihat matang tapi agak lunak. Ah, sepertinya ia tak butuh kapak, angin dan hujan sudah lebih tajam mematahkannya, percuma berat-berat ia bawa, tapi biar saja, semangat Oom sudah seperti sihir dan obat kuat.

Lihai betul ia memainkan pisaunya. Segera saja potongan kayu tadi dia ukir. Tangannya mesin serutan kayu. Sementara matanya terus memindai jeli membuat pola dalam khayalannya. Satu dua lembar bekas serutan memenuhi kakinya yang berlumpur, kotor seperti tanah yang diguguri daun. Apa pedulinya kalau sudah begini. Jemarinya seperti lantunan irama yang membuatnya tambah senang, semakin diayun semakin gembira.

Selesai pahatannya menjadi bentuk dasar, ini belum saatnya jarum panjang jam dinding berputar lima kali! Ia sudah tak sabar membuat pola berikutnya. Kepiawaiannya tak sedikitpun membiarkan idenya melarikan diri. Dengan kasar dan tegas ia tarik paksa kembali ide yang berusaha kabur. Menjerumuskannya dalam pahatan-pahatan yang semakin membuat kakinya penuh bekas serutan kayu. Percuma idenya lari, ia akan kejar lagi dan menariknya pulang.

Semakin jadi, bentuknya bertambah jelas. Potongan kayu itu tak lagi sebuah batang pohon patah semalam. Oom menjadi penyihirnya. Entah berapa tipis lengkungan dan sudut pahatan yang ia buat. Mungkin sudah sama dengan tajamnya pisau yang ia pakai. Ia kini butuh pisau yang lebih tipis lagi. “Sudah! Kau akan mematahkannya Oom!”, teriak idenya dalam kepala. Ya, benar juga, nyaris pisau yang tak lebih tipis dari pahatan itu merusak ukiran tadi. Ini pasti ulah semangat Oom, apa perlu ia buang separuh?

Oom ini memang keras kepala. Tak sudi ia buang semangatnya walau sebutir. Dasar tamak. Tapi itu juga yang membuat ia berlari tergesa-gesa menyelamatkan pohon tumbang lalu menyulapnya jadi ukiran. Kalau begitu biarlah dia melanjutkan ukirannya.
Alatnya tak lengkap. Tapi ukirannya kenapa begitu lengkap dengan nilai seni? Aku sendiri tak yakin, mungkin ini hanya cerita dongeng pengantar tidur. Atau mitos yang datang dari tengah hutan. Tapi aku menyaksikannya sendiri sekarang, mau apa lagi? Memang tak boleh aku menyangkal.

Bertambah keunikan kayu yang ia pegang layaknya batu permata. Terlalu hati-hati ia pahat dan ukir. Kini melingkar, membuat lekukan, dan menghaluskan beberapa sudut. Ini pasti sudah setengah jadi. Tapi jemarinya tak berhenti meliuk-liuk. Apa dia ingin merusak ukiran setengah jadi yang begitu indah ini? Mustahil! Ia tak pernah belajar skala, tapi ukirannya sangat detail. Ini bukan lagi potongan kayu, apalagi batang pohon basah di halaman rumah yang patah oleh hujan dan angin semalam.

Aku tak mengerti lagi gerakan apa yang ia buat. Pisaunya pun sesekali ia ganti dengan sesuatu yang lebih mirip obeng tapi pipih dan tajam diujungnya. Aku tak tahu jadi apa kayu ini nantinya, tapi di khayalnya tergambar jelas sebuah mahakarya. Aku mengangguk sabar menanti kayu itu benar-benar jadi, berubah menjadi bentuk khayalannya. Sebagaimana aku yang hampir tak sabar, Oom juga tak sabar membuat khayalnya jadi nyata.

Ini sudah hampir larut. Sinar mentari tadi yang malu-malu datang pun pergi karena tak juga diperhatikan. Mungkin besok ia akan datang lagi dan merayu Oom agar memperhatikannya, bukan cuma kayu saja yang ditemani terus. Entahlah, aku yakin mentari akan bosan juga berharap seperti itu.

“Sudah?”, aku coba berbisik dalam hati. Seolah benar mendengarku, Oom menoleh. Girang sekali mukanya, matanya melebar, alisnya yang sejak tadi mengernyit terangkat. MAHAKARYA! Pasti sudah jadi! Aku kagum luar biasa. Kerja keras, ketelitian, dan seni, maha karya Oom pasti mahal! Tak sabar menantinya di pelelangan. Entahlah, alisnya turun kembali, mukanya masam. Seperti anak kecil yang ingin diambil mainannya, ia berlari ke sebuah ruangan. Berdiri di depan lemari agak besar warna coklat, membukanya dengan perlahan..

Satu, dua, empat, sembilan, dua puluh, aah... ini mahakarya semua! Dengan senyum ia letakkan mahakarya barunya di samping yang lain, memperhatikan lemari itu sejenak dengan puas, lalu menutupnya kembali dengan pelan.

Aku menggangguk paham. Hasrat jiwanya terpuaskan oleh seni. Aku mengerti, beginilah rupa SENIMAN.

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar