Jeritan Mahasiswa Jakarta, kemana?

Pernah melihat jalan Jakarta sepi? Ya, mungkin hanya dua kali dalam setahun saat lebaran haji dan lebaran puasa, ditambah libur-libur longweekend yang sering tak pasti, sama dengan keluhan rakyat Jakarta yang sering tak pasti nasibnya.

Tapi saya lebih sering melihat Jakarta sepi dari teriakan mahasiswa. Padahal pemangku kebijakan tak pernah sepi dari korupsi. Tukang oplet yang sudah memarkirkan opletnya sejak lama pun paham dengan keluhan-keluhan ini.

Syukurlah, kita bisa melihat jelas permasalahan Jakarta yang tak bisa disembunyikan oleh si pesilat lidah. Meskipun sebenarnya miris. Memangnya ada yang ingin hidup dalam sengsara terus? Saya tak sanggup lagi menonton jerit tangis rakyat jelata yang rumahnya digusur dengan tidak manusiawi. Saya juga semakin pilu dengan keuntungan reklamasi yang ternyata lebih banyak merugikannya. Geram dengan pertunjukan nista-menistakan di publik. Penegak hukumnya seperti main kucing-kucingan, tak tahu kapan tertangkapnya. Bosan, cari mangsa lain. Sudah saatnya Jakarta butuh kesantunan dari pemimpinnya. Ini negeri yang santun, ini ibukotanya yang santun.

Aneh bukan? Panggung ibukota negara yang kaya raya, rakyatnya santun, dan ragam budayanya ini cuma jadi rebutan orang bermata duit. Jelas menggiurkan, ini ibu kota loh. Sebab itulah yang merasa hebat berani ikut ambil peruntungan demi bisa menunggangi panggung nyaman ini. Siapa yang betul-betul tulus? Tinggal lihat saja siapa dalang di balik tokohnya.

Mahasiswa, Jakarta, mahasiswa Jakarta, tolaklah lupa itu, lupa dengan karakter kita yang khas, kritis. Jangan mau dikelabui rezim yang terus coba membuat kritis kita tumpul. Menjeritlah sebagaimana rakyat menjerit. Teriaklah sebagaimana warga kecil berteriak. Nasib ibukota ini sebentar lagi ditentukan.

Unknown

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar