Kisah dari Entikong (bagian 2)

Entikong, Ladang, Dusun Punti Engkaras
Ladang

“Ayo, kak, kita ke bendungan!”, seru salah satu anak pada kami. Sontak aku melompat mengejar mereka. Menelusuri hutan, menyebrangi sungai, dan sesekali menerjang lumpur. Berjalan sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai di bendungan. Di bagian atas airnya sedalam 4 sampai 12 meter. Sementara di bagian bawah sedalam betis sampai pinggang orang dewasa. Tentunya anak-anak di sini lebih pandai berenang. Tinggi mereka saja belum melebihi dadaku, tapi tak sedikitpun ragu mereka melompat dan beratraksi jungkir balik ke dalam air. Aku pun tak mau kalah. Rasanya segar sekali menghabiskan hari di bendungan ini.

Bukan hanya bermain di bendungan yang seru, tapi juga perjalanan menuju bendungan yang sesekali harus melewati sungai. Aku sungguh senang bukan main dengan semua suasana ini. Alam selalu menyuguhkan keindahan pada manusia, sebab itu aku amat sedih dengan ulah manusia yang merusak alam. Sampah plastik, polusi, pencemaran, seakan kita tak bersyukur atas apa yang alam berikan. Semoga anak-anak dusun bisa menjadi penjaga alam agar terus lestari.

Tak mau kalah dengan serunya anak-anak bermain bersama kami, ibu-ibu Dusun Punti Engkaras amat terampil. Mereka begitu antusias saat kami ajarkan membuat keset dari kain perca. Ya, aku tak perlu heran, mereka biasa menganyam rotan untuk dijadikan keranjang, malu rasanya mengajari mereka, tapi tak nampak sedikitpun kalau mereka merasa lebih baik dari kami. Setidaknya, ada sedikit keterampilan baru yang kami bawa untuk mereka.

Malam semakin larut, aku berusaha menahan kantuk demi mendapatkan kisah-kisah menarik dari warga dusun yang biasa duduk sambil menikmati bintang. Beberapa pemuda terlihat datang bergabung. Mereka adalah pemuda yang kuat dan ramah. Aku melihat keberanian mereka berpadu dengan keramahan, dua hal yang membuat mereka siap menjaga dusun ini. 

Kepulan asap keluar dari bambu berukuran satu hasta. Ini adalah rokok traditional. Di ujung bawah terdapat bambu berukuran kecil yang disumpal ke dalam, tempat menyimpan tembakau yang kemudian dibakar. Bentuknya sepeti pentungan satpam dengan gagangnya. Di dalam bambu terdapat air sebagai penyaring. Unik menurutku, sebab asap yang keluar begitu banyak. Bagi yang tidak suka asap sepertiku akan langsung bergumam dalam hati, “Mati aku kalau isap itu! Haha”.

Laki-laki dewasa di sini biasa meminum arak. Saat aku ditawari, aku menolak dengan halus. Salah satu warga yang bergabung bersama kami lantas berkata, “Kamu seperti pastur ya? Tak minum”. Kuiyakan saja sambil tersenyum. Oh iya, ada adat di sini jika ditawari makanan ataupun minuman lalu kita tak mau, maka kita harus menyentuh makanan atau minuman tersebut lalu mengusap bagian leher kita. Entah apa maksudnya, yang jelas beberapa kali kulihat warga di sini melakukannya.

Malam semakin pekat. Kantukku tak lagi bisa kutahan. Aku beranjak pamit dari kerumunan warga yang beberapa mulai melantur sebab meneguk arak terlalu banyak.

***

SDN 04 Punti Engkaras
SDN 04 Punti Engkaras
“Pancasila.. Satu, ketuhanan Yang Maha Esa..” teriak Coki saat membacakan pancasila. Ini adalah upacara pertama kalinya bagi mereka. Begitu khidmat. Betapa sudah lama aku tak merasakan upacara sekhidmat ini. Saat derap langkah pengibar bendera merah putih menggetarkan bumi Punti Engkaras, saat itu juga aku yakin, tak pernah sedikitpun goyah nasionalisme anak-anak di sini. Tinggal mereka lebih dekat ke negara jiran, namun semangat mereka merah membara, ketulusan jiwa mereka putih suci.

Saat kumandang Indonesia Raya, tak sadar pipiku basah sebab air mata yang tak terbendung. Aku seksama pada tiap-tiap rangkaian upacara yang dibawakan anak-anak bangsa, anak-anak Entikong, yang tegar berdiri di perbatasan. Bertahan pada himpitan hidup demi mempertahankan cinta tanah air. Sudikah kita malu pada semangat mereka. Tidakkah terharu kita pada cinta mereka. Semoga ibu pertiwi merangkul mereka, memberi mereka tanah surga, yang merdeka, benar-benar merdeka. Anak-anak menangis terharu bisa mengikuti upacara pertama kalinya, kami terisak bangga menatap keberhasilan mereka. Pada pagi itu, suasana mengharu biru.

Hari ini, Jumat 15 Februari 2019, upacara kami sukses. Aku berharap kelak ada yang terus mengajari mereka. Membimbing mereka melantangkan suara, meneriakkan hormat, dan menatap kibaran merah putih.

Pukul 11.00, kami para lelaki bersama Pak Surya bersiap menuju kota, melaksanakan shalat jumat. Pak Surya adalah salah satu warga pendatang asal Jawa yang beragama Islam. Beliau banyak membantu kami selama pengabdian masyarakat ini. Aku tak menyangka bisa mendapatkan kesempatan mengendarai motor menuju kota, melintasi medan terjal dan berlumpur.

Perjalanan menggunakan motor dari dusun menuju kota memakan waktu kurang lebih 20 menit. Itupun jika kondisi jalanan sedang baik dan tidak basah. Beruntungnya saat itu cuaca cerah. Aku tak bisa bayangkan warga dusun yang setiap hari harus melintasi semua ini untuk menuju sekolah atau memenuhi kebutuhan mereka di kota. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Jika ke sini, kalian harus coba!

Sementara kami shalat jumat, para relawan perempuan bersiap untuk melaksanakan pengecekan status gizi anak pada sore harinya. Tamala, relawan asal Medan yang juga memimpin pengecekan ini melaporkan bahwa anak-anak di sini tidak ada yang gizi buruk, kalaupun ada itu hanya kurus saja. Secara umum anak-anak dusun Punti Engkaras sehat, mungkin karena di sini banyak buah dan medan yang memaksa mereka berjalan dan mengeluarkan keringat, pikirku.

***

Bermain ke Ladang. Kau tahu? Aku seperti anak kecil saat bermain ke ladang. Berlari, tertawa, bercanda, bahkan sekadar bersembunyi di semak untuk mengagetkan teman-teman yang lewat. Pun anak-anak dusun yang ikut bersama kami. Aku bahkan menepuk jidat saat mereka berguling-guling di jalan yang penuh lumpur.

Musim panen telah tiba. Untuk memisahkan padi dari tangkainya mereka punya cara unik yaitu diinjak sambil diseret-seret seperti gerakan mengulek. Kasihan ya padinya diinjak. Mungkin warga di sini berpikir, daripada dipukul-pukul, lebih sakit mana? (bicara apa aku?)

Soal hasil pertanian, warga dusun Punti Enkaras masih menemukan kendala, di antaranya mereka sulit mendapatkan pupuk karena harganya mahal, sementara mereka belum mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah, alhasil panen menjadi kurang maksimal. Kepala desa juga sempat menuturkan kurangnya lahan bagi warga karena adanya hutan lindung sehingga mereka tak boleh membuka lahan. Aku berharap adanya solusi dari pemerintah sehingga taraf hidup warga dusun bisa meningkat, setidaknya dari hasil tani mereka.

Jarak dusun ke ladang tidak terlalu jauh. Sekitar 20 menit berjalan. Bisa lebih cepat jika berlari seperti yang dilakukan anak-anak di sini saat menemani kami ke ladang. Selain berjalan, akses ke ladang juga bisa dilalui motor. Dalam perjalanan menuju ladang, kami menemukan umag, lebih tepatnya anak-anak dusun yang memberitahu kami. Umag adalah buah kecil seukuran ibu jari berbentuk seperti bunga yang kuncup, rasanya benar-benar mirip buah naga putih. Semua lelah perjalanan ke ladang akan terbayarkan saat hamparan pemandangan menyihir kami. Sungguh indah, tanah surga pikirku.

***

Hari terakhir. Sejujurnya aku enggan menceritakan hari terakhir, sebab rasanya tak ingin ada akhir dari kisah Entikong ini. Namun setiap pertemuan harus mengenal perpisahan. Begitulah hidup.
Biar kumulai dari kegiatan berbagi sembako. Bukan soal banyaknya yang kami beri, tapi besarnya keinginan kami membantu dan membalas segala kebaikan warga dusun. Mengutip kata-kata Amirah, kordinator tim acara, “Kalau kami minta satu warga kasih lima”. Ya, kalian pasti akan setuju dengan kami jika ke sini. Kami juga menempelkan stiker Beasiswa 10.000 di rumah-rumah. Semoga saat kalian ke sini kalian masih bisa menemukannya. Kami juga senang, di akhir perpisahan, Beasiswa 10.000 memberikan proyektor untuk sarana pembelajaran dan hiburan. Terimakasih Beasiswa 10.000 atas dedikasinya.

Langit semakin gelap. Kayu bakar yang dikumpulkan beberapa relawan bersama pemuda dusun sudah siap. Panggung pentas sudah rapi tepat di depan basecamp. Warga mulai ramai berdatangan, sungguh ramai. Kau tahu? Hanya pada acara-acara besar saja warga membuat api unggun, kami sungguh merasa terhormat.

Bangga rasanya melihat anak-anak tampil. Mereka juga sama dengan anak Indonesia lainnya. Mereka bisa menghibur dan punya kreatifitas. Aku rasa mereka layak tampil di pentas internasional mengharumkan nama bangsa. Inilah penerus bangsa di perbatasan.

Dalam aba-aba, api unggung mulai dinyalakan. Api berkobar, menghangatkan suasana haru malam itu. Lagu perpisahan berdendang. Anak-anak bersama relawan mulai bergerak mengitari api unggun, sembari memegang lilin. Ada isak tangis yang mulai terdengar. Betapa aku terpaku, bisu tak berkata. Anak-anak yang sedari tadi riang mulai terisak-isak. Pecah tangis mereka. Selembut itu hati anak-anak di sini. Mereka sadar esok kami akan pulang. Bahkan di hari yang lalu beberapa dari mereka bertanya, “Kak, hari Minggu pulang ya?” Aku sebenarnya enggan menjawab, sadar kalau mereka akan sedih. Ingin rasanya berbohong bahwa kami masih akan lebih lama lagi di sini. Kini mereka tahu, esok kami akan pulang. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana anak usia kelas satu SD turut menangis, seakan sudah dewasa mengerti arti perpisahan. Aku mencoba menahan tangis. Mencoba mereda tangis mereka. Tapi inilah ekspresi kerinduan mereka. Tangis mereka mengisyaratkan pesan akan terima kasih, sudah lama tak ada yang datang kemari.

Kami berpelukan. Seorang ibu kulihat begitu berkaca-kaca. Ingin ia sampaikan rasa terima kasih. Kau tahu perasaan ibu kepada seseorang yang telah memberikan kasih sayang kepada anaknya? Seorang bapak gemetar memelukku, menyampaikan rasa terima kasih, berharap kami kembali kelak. Ia juga berdoa agar kami sukses di manapun itu. Aku tertegun, diam seribu bahasa. Aku tak berlebihan tentang lembutnya hati warga di sini.

***

Akhirnya, hari esok benar-benar tiba. Aku menatap tiap sudut dusun, coba merekam kenangan selama seminggu di sini, melambai pada setiap kebahagiaan yang hadir pada kami. Untuk entah kapan, aku berharap bisa kembali. Menyapa Roni, Viktor, Likat, Marvel, Samuel, Nopen, Wulan, Tessi, Tina, Olive, Nur, Gresia, dan anak-anak lainnya yang mungkin telah tumbuh dewasa, menggapai mimpi mereka satu-persatu. Atau memberi selamat pada Sadam yang mungkin sudah menjadi kepala dusun menggantikan Pak Lahong.

Untuk setiap relawan, inilah pengabdianmu, segala kebaikan akan dibalas kebaikan. Untuk sepekan ini, kita telah menjadi keluarga, menyatu dalam ikatan cinta. Selamat berpisah, semoga kita bisa menebar manfaat di lain waktu.

Akhirnya, roda berputar, tangan melambai, anak-anak berlari mengejar truk yang kami tumpangi. Sebagian berhenti dan menangis. Ini bukan di film, tapi nyata adanya. Untuk hari-hari ke depan, Dusun Punti Engkaras akan sepi kembali.

Dari Dusun Punti Engkaras, Desa Nekan, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ada semangat yang membara, ada cinta yang mendekam di dada, ada kenangan yang melambai memanggil kembali. Untuk kalian adik-adikku, aku mengangkat topi untuk segala semangat dan cita-cita yang kalian ukir. Semoga tercapai! Sampai jumpa di lain waktu. Aku, yang sedang mengusap air mata.

***
Tulisan ini aku dedikasikan untuk kalian..

Relawan:

Amalia Oktavia (Jambi)
Annisa Ghalda Rahmawati (Jakarta)
Dhea Novia Anzani H (Bogor)
Dinda Tiara Andini (Samarinda)
Dion Michael Sianipar (Sumatera Utara)
Fahmi Rizki Fahrozi (Yogyakarta)
Hidayatul Fitri (Riau)
Hilaria Helendrika (Kalimantan)
Kevin Cesio Gemilang (Jakarta)
M. Sholahudin Al Ayubi (Malang)
Natasya Triani Silalahi (Tapanuli)
Oktavian Andrean Raja (Kalimantan Barat)
Ole Langsang (Makassar)
Raji Luqya Maulah (Makassar)
Rivaldy Reva Pradana (Bogor)
Tabita Panggabean (Sumatera Utara)
Tamala (Riau)

Tim Beasiswa 10.000:

Safhira Al Farisi (Presiden Beasiswa 10.000)
Andi Aldo Sofyan Bama (Ketua Panitia)
Andi Mukrim (Wakil Ketua)
Kenzha Wardana (Koor. Relawan)
Amirah Rachmawati (Koor. Acara)
Intan (Koor. HPD)
Krisdianto Toro (Koor. Logistik & Konsumsi)
Nur Ahmad Ali (Wakil Koor. Logistik)


Beasiswa 10000, Entikong Xpedition, Entikong, Pengabdian Masyarakat
Our Team

Tim Acara

Pasukan Pengibar Bendera

Bendungan

Rumah Pak Majon

Warga Dusun Mengupas Tengkawang
Lihat dokumentasi selengkapnya di @rajimaulah

@rajimaulah

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

4 komentar: