![]() |
Ladang |
“Ayo, kak, kita ke bendungan!”, seru salah satu anak pada kami. Sontak aku melompat mengejar mereka. Menelusuri hutan, menyebrangi sungai, dan sesekali menerjang lumpur. Berjalan sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai di bendungan. Di bagian atas airnya sedalam 4 sampai 12 meter. Sementara di bagian bawah sedalam betis sampai pinggang orang dewasa. Tentunya anak-anak di sini lebih pandai berenang. Tinggi mereka saja belum melebihi dadaku, tapi tak sedikitpun ragu mereka melompat dan beratraksi jungkir balik ke dalam air. Aku pun tak mau kalah. Rasanya segar sekali menghabiskan hari di bendungan ini.
Bukan hanya bermain di bendungan yang seru, tapi juga perjalanan menuju
bendungan yang sesekali harus melewati sungai. Aku sungguh senang bukan main
dengan semua suasana ini. Alam selalu menyuguhkan keindahan pada manusia, sebab
itu aku amat sedih dengan ulah manusia yang merusak alam. Sampah plastik,
polusi, pencemaran, seakan kita tak bersyukur atas apa yang alam berikan.
Semoga anak-anak dusun bisa menjadi penjaga alam agar terus lestari.
Tak mau kalah dengan serunya anak-anak bermain bersama kami, ibu-ibu Dusun
Punti Engkaras amat terampil. Mereka begitu antusias saat kami ajarkan membuat
keset dari kain perca. Ya, aku tak perlu heran, mereka biasa menganyam rotan
untuk dijadikan keranjang, malu rasanya mengajari mereka, tapi tak nampak
sedikitpun kalau mereka merasa lebih baik dari kami. Setidaknya, ada sedikit
keterampilan baru yang kami bawa untuk mereka.
Malam semakin larut, aku berusaha menahan kantuk demi mendapatkan
kisah-kisah menarik dari warga dusun yang biasa duduk sambil menikmati bintang.
Beberapa pemuda terlihat datang bergabung. Mereka adalah pemuda yang kuat dan
ramah. Aku melihat keberanian mereka berpadu dengan keramahan, dua hal yang
membuat mereka siap menjaga dusun ini.
Kepulan asap keluar dari bambu berukuran satu hasta. Ini adalah rokok
traditional. Di ujung bawah terdapat bambu berukuran kecil yang disumpal ke
dalam, tempat menyimpan tembakau yang kemudian dibakar. Bentuknya sepeti
pentungan satpam dengan gagangnya. Di dalam bambu terdapat air sebagai
penyaring. Unik menurutku, sebab asap yang keluar begitu banyak. Bagi yang
tidak suka asap sepertiku akan langsung bergumam dalam hati, “Mati aku kalau
isap itu! Haha”.
Laki-laki dewasa di sini biasa meminum arak. Saat aku ditawari, aku menolak
dengan halus. Salah satu warga yang bergabung bersama kami lantas berkata,
“Kamu seperti pastur ya? Tak minum”. Kuiyakan saja sambil tersenyum. Oh iya,
ada adat di sini jika ditawari makanan ataupun minuman lalu kita tak mau, maka
kita harus menyentuh makanan atau minuman tersebut lalu mengusap bagian leher
kita. Entah apa maksudnya, yang jelas beberapa kali kulihat warga di sini
melakukannya.
Malam semakin pekat. Kantukku tak lagi bisa kutahan. Aku beranjak pamit
dari kerumunan warga yang beberapa mulai melantur sebab meneguk arak terlalu
banyak.
***
![]() |
SDN 04 Punti Engkaras |
“Pancasila.. Satu, ketuhanan Yang Maha Esa..” teriak Coki saat membacakan
pancasila. Ini adalah upacara pertama kalinya bagi mereka. Begitu khidmat.
Betapa sudah lama aku tak merasakan upacara sekhidmat ini. Saat derap langkah
pengibar bendera merah putih menggetarkan bumi Punti Engkaras, saat itu juga
aku yakin, tak pernah sedikitpun goyah nasionalisme anak-anak di sini. Tinggal
mereka lebih dekat ke negara jiran, namun semangat mereka merah membara,
ketulusan jiwa mereka putih suci.
Saat kumandang Indonesia Raya, tak sadar pipiku basah sebab air mata yang
tak terbendung. Aku seksama pada tiap-tiap rangkaian upacara yang dibawakan
anak-anak bangsa, anak-anak Entikong, yang tegar berdiri di perbatasan.
Bertahan pada himpitan hidup demi mempertahankan cinta tanah air. Sudikah kita
malu pada semangat mereka. Tidakkah terharu kita pada cinta mereka. Semoga ibu
pertiwi merangkul mereka, memberi mereka tanah surga, yang merdeka, benar-benar
merdeka. Anak-anak menangis terharu bisa mengikuti upacara pertama kalinya,
kami terisak bangga menatap keberhasilan mereka. Pada pagi itu, suasana
mengharu biru.
Hari ini, Jumat 15 Februari 2019, upacara kami sukses. Aku berharap kelak
ada yang terus mengajari mereka. Membimbing mereka melantangkan suara,
meneriakkan hormat, dan menatap kibaran merah putih.
Pukul 11.00, kami para lelaki bersama Pak Surya bersiap menuju kota,
melaksanakan shalat jumat. Pak Surya adalah salah satu warga pendatang asal
Jawa yang beragama Islam. Beliau banyak membantu kami selama pengabdian
masyarakat ini. Aku tak menyangka bisa mendapatkan kesempatan mengendarai motor
menuju kota, melintasi medan terjal dan berlumpur.
Perjalanan menggunakan motor dari dusun menuju kota memakan waktu kurang
lebih 20 menit. Itupun jika kondisi jalanan sedang baik dan tidak basah.
Beruntungnya saat itu cuaca cerah. Aku tak bisa bayangkan warga dusun yang setiap
hari harus melintasi semua ini untuk menuju sekolah atau memenuhi kebutuhan
mereka di kota. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Jika ke sini, kalian harus coba!
Sementara kami shalat jumat, para relawan perempuan bersiap untuk
melaksanakan pengecekan status gizi anak pada sore harinya. Tamala, relawan
asal Medan yang juga memimpin pengecekan ini melaporkan bahwa anak-anak di sini
tidak ada yang gizi buruk, kalaupun ada itu hanya kurus saja. Secara umum
anak-anak dusun Punti Engkaras sehat, mungkin karena di sini banyak buah dan
medan yang memaksa mereka berjalan dan mengeluarkan keringat, pikirku.
***
Bermain ke Ladang. Kau tahu? Aku seperti anak kecil saat bermain ke ladang.
Berlari, tertawa, bercanda, bahkan sekadar bersembunyi di semak untuk mengagetkan
teman-teman yang lewat. Pun anak-anak dusun yang ikut bersama kami. Aku bahkan
menepuk jidat saat mereka berguling-guling di jalan yang penuh lumpur.
Musim panen telah tiba. Untuk memisahkan padi dari tangkainya mereka punya
cara unik yaitu diinjak sambil diseret-seret seperti gerakan mengulek.
Kasihan ya padinya diinjak. Mungkin warga di sini berpikir, daripada
dipukul-pukul, lebih sakit mana? (bicara apa aku?)
Soal hasil pertanian, warga dusun Punti Enkaras masih menemukan kendala, di
antaranya mereka sulit mendapatkan pupuk karena harganya mahal, sementara
mereka belum mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah, alhasil panen
menjadi kurang maksimal. Kepala desa juga sempat menuturkan kurangnya lahan
bagi warga karena adanya hutan lindung sehingga mereka tak boleh membuka lahan.
Aku berharap adanya solusi dari pemerintah sehingga taraf hidup warga dusun
bisa meningkat, setidaknya dari hasil tani mereka.
Jarak dusun ke ladang tidak terlalu jauh. Sekitar 20 menit berjalan. Bisa
lebih cepat jika berlari seperti yang dilakukan anak-anak di sini saat menemani
kami ke ladang. Selain berjalan, akses ke ladang juga bisa dilalui motor. Dalam
perjalanan menuju ladang, kami menemukan umag, lebih tepatnya anak-anak
dusun yang memberitahu kami. Umag adalah buah kecil seukuran ibu jari
berbentuk seperti bunga yang kuncup, rasanya benar-benar mirip buah naga putih.
Semua lelah perjalanan ke ladang akan terbayarkan saat hamparan pemandangan
menyihir kami. Sungguh indah, tanah surga pikirku.
***
Hari terakhir. Sejujurnya aku enggan menceritakan hari terakhir, sebab
rasanya tak ingin ada akhir dari kisah Entikong ini. Namun setiap pertemuan
harus mengenal perpisahan. Begitulah hidup.
Biar kumulai dari kegiatan berbagi sembako. Bukan soal banyaknya yang kami
beri, tapi besarnya keinginan kami membantu dan membalas segala kebaikan warga
dusun. Mengutip kata-kata Amirah, kordinator tim acara, “Kalau kami minta satu
warga kasih lima”. Ya, kalian pasti akan setuju dengan kami jika ke sini. Kami
juga menempelkan stiker Beasiswa 10.000 di rumah-rumah. Semoga saat kalian ke
sini kalian masih bisa menemukannya. Kami juga senang, di akhir perpisahan,
Beasiswa 10.000 memberikan proyektor untuk sarana pembelajaran dan hiburan.
Terimakasih Beasiswa 10.000 atas dedikasinya.
Langit semakin gelap. Kayu bakar yang dikumpulkan beberapa relawan bersama
pemuda dusun sudah siap. Panggung pentas sudah rapi tepat di depan basecamp.
Warga mulai ramai berdatangan, sungguh ramai. Kau tahu? Hanya pada acara-acara
besar saja warga membuat api unggun, kami sungguh merasa terhormat.
Bangga rasanya melihat anak-anak tampil. Mereka juga sama dengan anak
Indonesia lainnya. Mereka bisa menghibur dan punya kreatifitas. Aku rasa mereka
layak tampil di pentas internasional mengharumkan nama bangsa. Inilah penerus
bangsa di perbatasan.
Dalam aba-aba, api unggung mulai dinyalakan. Api berkobar, menghangatkan
suasana haru malam itu. Lagu perpisahan berdendang. Anak-anak bersama relawan
mulai bergerak mengitari api unggun, sembari memegang lilin. Ada isak tangis
yang mulai terdengar. Betapa aku terpaku, bisu tak berkata. Anak-anak yang
sedari tadi riang mulai terisak-isak. Pecah tangis mereka. Selembut itu hati
anak-anak di sini. Mereka sadar esok kami akan pulang. Bahkan di hari yang lalu
beberapa dari mereka bertanya, “Kak, hari Minggu pulang ya?” Aku sebenarnya
enggan menjawab, sadar kalau mereka akan sedih. Ingin rasanya berbohong bahwa
kami masih akan lebih lama lagi di sini. Kini mereka tahu, esok kami akan
pulang. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana anak usia kelas satu SD turut
menangis, seakan sudah dewasa mengerti arti perpisahan. Aku mencoba menahan
tangis. Mencoba mereda tangis mereka. Tapi inilah ekspresi kerinduan mereka.
Tangis mereka mengisyaratkan pesan akan terima kasih, sudah lama tak ada yang datang
kemari.
Kami berpelukan. Seorang ibu kulihat begitu berkaca-kaca. Ingin ia
sampaikan rasa terima kasih. Kau tahu perasaan ibu kepada seseorang yang telah
memberikan kasih sayang kepada anaknya? Seorang bapak gemetar memelukku,
menyampaikan rasa terima kasih, berharap kami kembali kelak. Ia juga berdoa
agar kami sukses di manapun itu. Aku tertegun, diam seribu bahasa. Aku tak
berlebihan tentang lembutnya hati warga di sini.
***
Akhirnya, hari esok benar-benar tiba. Aku menatap tiap sudut dusun, coba
merekam kenangan selama seminggu di sini, melambai pada setiap kebahagiaan yang
hadir pada kami. Untuk entah kapan, aku berharap bisa kembali. Menyapa Roni,
Viktor, Likat, Marvel, Samuel, Nopen, Wulan, Tessi, Tina, Olive, Nur, Gresia,
dan anak-anak lainnya yang mungkin telah tumbuh dewasa, menggapai mimpi mereka
satu-persatu. Atau memberi selamat pada Sadam yang mungkin sudah menjadi kepala
dusun menggantikan Pak Lahong.
Untuk setiap relawan, inilah pengabdianmu, segala kebaikan akan dibalas
kebaikan. Untuk sepekan ini, kita telah menjadi keluarga, menyatu dalam ikatan
cinta. Selamat berpisah, semoga kita bisa menebar manfaat di lain waktu.
Akhirnya, roda berputar, tangan melambai, anak-anak berlari mengejar truk
yang kami tumpangi. Sebagian berhenti dan menangis. Ini bukan di film, tapi
nyata adanya. Untuk hari-hari ke depan, Dusun Punti Engkaras akan sepi kembali.
Dari Dusun Punti Engkaras, Desa Nekan, Kecamatan Entikong, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat, ada semangat yang membara, ada cinta yang mendekam
di dada, ada kenangan yang melambai memanggil kembali. Untuk kalian
adik-adikku, aku mengangkat topi untuk segala semangat dan cita-cita yang
kalian ukir. Semoga tercapai! Sampai jumpa di lain waktu. Aku, yang sedang
mengusap air mata.
***
Tulisan
ini aku dedikasikan untuk kalian..
Relawan:
Amalia Oktavia (Jambi)
Annisa
Ghalda Rahmawati (Jakarta)
Dhea
Novia Anzani H (Bogor)
Dinda
Tiara Andini (Samarinda)
Dion
Michael Sianipar (Sumatera Utara)
Fahmi
Rizki Fahrozi (Yogyakarta)
Hidayatul
Fitri (Riau)
Hilaria
Helendrika (Kalimantan)
Kevin
Cesio Gemilang (Jakarta)
M.
Sholahudin Al Ayubi (Malang)
Natasya
Triani Silalahi (Tapanuli)
Oktavian
Andrean Raja (Kalimantan Barat)
Ole
Langsang (Makassar)
Raji
Luqya Maulah (Makassar)
Rivaldy
Reva Pradana (Bogor)
Tabita
Panggabean (Sumatera Utara)
Tamala
(Riau)
Tim
Beasiswa 10.000:
Safhira Al Farisi (Presiden Beasiswa 10.000)
Andi
Aldo Sofyan Bama (Ketua Panitia)
Andi
Mukrim (Wakil Ketua)
Kenzha
Wardana (Koor. Relawan)
Amirah
Rachmawati (Koor. Acara)
Intan
(Koor. HPD)
Krisdianto
Toro (Koor. Logistik & Konsumsi)
Nur
Ahmad Ali (Wakil Koor. Logistik)
![]() |
Our Team |
![]() |
Tim Acara |
![]() |
Pasukan Pengibar Bendera |
![]() |
Bendungan |
![]() |
Rumah Pak Majon |
![]() |
Warga Dusun Mengupas Tengkawang |
Lihat dokumentasi selengkapnya di @rajimaulah
Mantap sekali kak Rajii
BalasHapusMakasih Olee
HapusWhat a beautiful story it is ❤️
BalasHapusThank you so much, Tam :)
Hapus