![]() |
Dusun Punti Engkaras, Entikong |
Serpihan aroma Dusun Punti Engkaras masih
segar dalam benakku. Ada sejuta cerita yang ingin kubagi pada kalian. Betapa
merasa bodoh kami orang yang tinggal di kota, ditampar semangat warga pelosok
yang tak sedikitpun mengeluh akan nasib hidup.
Sepekan rasanya tak cukup untuk menampung
sejuta kebahagiaan, cinta, dan kekeluargaan. Entikong Xpedition telah
memberikan saya lebih dari sekadar pengalaman. Letupan rasa yang begitu
emosional menghiasi wajah perjalanan kami sejak 11-17 Februari 2019. Maaf jika
dalam kisah ini terbentang air mata haru dan rindu yang begitu menggebu.
Biarkan aku berkisah..
***
Bandara Soekarno-Hatta mulai sepi dari
aktivitas. Beberapa pintu keberangkatan sudah tutup, menunggu kilat fajar di
subuh hari. Langkahku bergetar membakar dinginnya malam. Terminal 2F Pukul
12.30 WIB, di situlah awal kisah ini dimulai. Di situlah aku bertemu dengan
orang-orang yang akhirnya aku anggap sebagai keluarga. Perjalanan baru saja
dimulai.
***
Deru mesin pesawat mengusik tidurku yang
sebenarnya tak begitu nyenyak. Sesak penumpang di pesawat menghentikan
langkahku, membiarkan Sholah, Safhira, Dhea, dan Aldi melangkah menyambut
Supadio terlebih dahulu. Sebenarnya aku terburu-buru, tak sabar ingin
melangkah, sebab ini kali pertama aku menginjak tanah Kalimantan. Pak Ardian dan Bang
Demot, menjemput kami, merekalah senyum pertama yang kami jumpai sebelum menuju
Entikong.
***
Tujuh jam perjalanan darat. Itu yang
kuketahui dari orang tentang jarak Pontianak ke Entikong. Tapi, sepertinya
waktu yang kami tempuh lebih lama. Ah, rasanya ingin lebih lama saja, biar
perasaan ini semakin menggebu tak sabar ingin melihat Entikong! Kabupaten
Sanggau, aku sempat melirik tanda jalan, artinya kami sudah semakin dekat.
Untuk masuk ke Dusun Punti Engkaras -tempat kami mengabdi- butuh usaha yang tak
mudah. Jalanan berkelok, lumpur, bebatuan, serta tanjakan harus kami lalui.
Menggunakan truk TNI adalah cara terbaik. Tapi aku bersyukur dalam kisah
selanjutnya aku berkesempatan mengendarai motor melewati jalur ini. Nanti
kuceritakan betapa serunya!
***
Dari persimpangan jalan raya menuju dusun
butuh sekitar 20 menit berkendara. Aku tak bisa membayangkan betapa sulitnya
ditempuh menggunakan motor. Apalagi yang kulihat kebanyakan motor yang dipakai
warga bukan motor khusus untuk medan seperti ini, sebut saja motor matic dan
bebek. Sontak saja aku bertanya, kenapa tak gunakan motor trail atau
modifikasi yang lebih cocok di medan seperti ini? "Faktor ekonomi
rupanya", bisik Bang Okta, salah satu relawan asal Kalimantan. Ah betul
juga, seraya mengangguk aku tersadarkan. Seperti apa keadaan ekonomi warga di
sini? Semoga Entikong memberikan jawaban.
Setelah 15 menit melewati jalanan
berkerikil dan terkadang berlumpur, kami sampai pada persimpangan, ada papan ukuran
sedang bertuliskan "Selamat Datang di Dusun Punti Engkaras" menyambut
kami. Menurutku, itu adalah sambutan bernada "Selamat datang, silahkan
menanjak menelusuri batu dan lumpur untuk sampai ke dusun ya, hati-hati
licin". Benar saja, masih butuh sekitar 5 menit berkendara untuk
betul-betul sampai di dusun. Itupun dengan resiko terjatuh karena jalan yang
curam berbatu licin, yang semakin licin di kala hujan, sebab tanah berubah jadi
lumpur.
Akhirnya kami sampai. Di tengah dusun
terdapat balai desa, sebuah gedung berukuran sekitar 10 x 4 m² yang dibangun
atas sumbangan pemerintah. Gedung inilah tempat kami tinggal yang selanjutnya
akan aku sebut basecamp. Di depan basecamp ada prasasti
bertuliskan nama-nama mahasiswa UGM yang berkunjung 2014 silam dalam kegiatan
KKN. Banyak peninggalan mereka, di antaranya papan nomor di setiap rumah warga.
Aku langsung berbisik dalam hati tak mau kalah, "Harus ada yang kita
tinggalkan juga!". Tepat lima meter dari basecamp terdapat tempat
pembakaran khas yang digunakan untuk membakar Tengkawang, sejenis biji
buah berwarna kopi, dikupas dan dijemur serta dibakar untuk dijadikan minyak
atau mentega.
Sementara itu panitia tinggal di rumah Kepala
Dusun Pak Lahong yang letaknya ada di atas. Ya, dusun ini ibarat stadion olahraga,
terdapat gedung balai desa, lapangan voli, dan beberapa rumah menjadi titik
pusat yang dikelilingi bukit tempat rumah warga. Tentu saja, butuh naik turun
untuk sampai ke rumah-rumah warga. Pepohonan yang hijau dan langit yang biru
bersih mengingatkan aku pada desa-desa yang sering aku gambar saat dulu kecil.
Benar-benar desa, benakku.
Penduduk di sini mayoritas beragama Kristen
dengan jumlah warga beragama Islam 12 orang dari total 396 jiwa, 213 laki-laki
dan 183 perempuan, 111 kepala keluarga. Kurang lebih itu data yang kudengar
dari kepala dusun saat menyampaikan sambutan.
Di sebelah Barat Laut basecamp
terdapat gereja yang letaknya ada di atas, tepat berada di sebelah Selatan SD
yang merupakan sekolah satu-satunya di dusun ini. Di dekat gereja ini nantinya
ramai oleh kami, apalagi kalau bukan untuk mencari sinyal, karena hanya di
tempat ini kami mendapatkan sinyal, haha.
Seratus meter dari basecamp
terdapat sungai yang sangat jernih, menjadi akses menuju rumah warga di sebelah
Tenggara sekaligus tempat warga mandi dan mencuci. Airnya sangat segar. Oh iya,
pantangan di sini tidak boleh mengambil ikan dari sungai, sebab baru boleh
diambil saat upacara adat Gawai pada bulan lima, semacam upacara makan-makan
dari hasil panen sebagai bentuk rasa syukur. Bahkan membawa pancingan dan niat
untuk mengambil ikan saja tidak boleh, akan ada hukuman adat bagi yang
melanggar. Hukumannya seperti apa? Entahlah, aku kan tidak melanggar!
Warga harus melewati sungai ini jika ingin
melintas ke arah Tenggara, sebab sudah dua tahun jembatan yang ada di sini
rusak dan tak kunjung diperbaiki. Syukurnya menyebrangi sungai ini tak harus
berenang, hanya sedalam betis orang dewasa. Di seberang sungai ini jika
ditelusuri akan berjumpa rumah-rumah warga dan hutan tempat di mana warga
memanen buah. Buah-buahan menjadi berkat tersendiri bagi warga dusun. Sayangnya
kami terlewatkan musim durian, yang katanya mereka sampai bertumpuk-tumpuk
untuk dimakan, duh! Selain durian, di sini banyak terdapat manggis, rambutan,
nangka, duku, belimbing merah, dan tampoi, buah berwarna kuning yang
mirip manggis rasanya, tapi jangan terlalu banyak memakan buah ini sebab bisa
mabuk. Salah satu temanku, Fahmi, relawan asal Yogyakarta, ingin membuktikan,
sudah lima belas buah ia makan, tapi tak kunjung mabuk, mungkin perlu lebih
atau dia yang terlalu kuat? Haha. Untuk urusan buah, warga di sini tak perlu
pusing mencari apalagi membeli ke pasar.
Selain itu, madu juga menjadi sumber mata
pencaharian warga sini. Biasa dijual sebotol ukuran sirup ke Malaysia seharga
150 sampai 200 Ringgit. Namun akhir-akhir ini harganya turun sekitar 80 Ringgit
saja karena banyaknya madu saingan yang masuk ke pasar. Padahal madu di sini
tak kalah dengan madu-madu lain dan rasanya pun enak.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi melewati
sungai dan hutan, kita akan sampai ke sebuah bendungan tempat anak-anak dusun
biasa berenang.
Di sebelah Barat, sekitar satu kilometer
terdapat ladang tempat warga bercocok tanam, yang mayoritas ditanami padi,
kacang tanah, lada dan timun. Sementara sebelah Utara adalah jalan dan akses
masuk menuju dusun ini.
Ada satu lagi yang ingin kuceritakan: babi.
Ya, di sini babi berkeliaran seperti ayam. Namun tak perlu takut, sebab babi di
sini takut manusia. Mungkin mereka sadar kalau akan jadi santapan, haha. Selain
babi, banyak anjing yang menjadi peliharaan warga. Selain itu ada ayam dan
sedikit kucing.
Begitu kira-kira gambaran Dusun Punti
Engkaras. Aroma desa, kepulan asap dari tungku pembakaran, celoteh dan tawa
anak-anak, serta keramahan warga memuaskan hasratku pada desa. Sulit rasanya
melukiskan suasana desa seperti ini lewat tulisan, namun yang kau harus tahu, rasanya
begitu nikmat. Dusun yang asri, menghimpun warga yang begitu ramah dan baik
hati. Sungguh, aku sama sekali tak berlebihan tentang ramahnya warga di sini.
***
Aroma subuh membangunkanku. Ternyata malam
di sini cukup dingin. Saat mentari menyapa dan embun pagi turun malu-malu,
warga desa sudah bangkit dengan semangat memulai hari. Pagi sampai sore menjadi
waktu para lelaki pergi ke ladang. Syukur, dusun Punti Engkaras diberkati
kekayaan alam. Buah dan hasil ladang cukup untuk makan sehari-hari. Soal
budaya, rajin dan tepat waktu bukan hal asing bagi warga dusun Punti Engkaras.
Bahkan tak jarang mereka terlihat kecewa jika kami terlambat dari jadwal acara
yang sudah ditentukan. Jangan tanya berapa anak yang terlambat datang ke
sekolah, sebab aku tak pernah menemukannya di sini.
Aku menyambut panggilan Pak Majon dan Pak
Samit. Mereka mengajak aku, Dion, Aldi, dan Fahmi mencari buah ke hutan. Aku
sungguh tertegun, kagum dengan cara warga di sini menyambut tamu. Pak Majon
sendiri adalah warga yang terbilang paling sukses di sini, pengetahuannya lebih
maju di banding yang lain, anak-anaknya pun bersekolah tinggi, anak tertuanya
kini menanti wisuda untuk gelar S1-nya. Namun, keadaan ekonomi Pak Majon
sekarang tak sebaik dulu sebab judi dan kenakalannya, kisahnya padaku sambil
tertawa. Aku salut dengan rumah Pak Majon, sungguh bersih dan rapi. Letaknya
dua rumah dari basecamp, dan ia juga membuka warung di rumahnya. Aku,
Fahmi, Dion, dan Okta hampir tiap malam duduk bersama di warung Pak Majon menghabiskan
malam, berbagi cerita dengan pemuda dusun.
Sembari membawa keranjang khas yang biasa
mereka pakai untuk mencari buah dan mengangkut hasil panen, kami menelusuri
sungai dan hutan. Keranjang ini terbuat dari rotan yang dianyam serta kulit
pohon yang digunakan sebagai talinya. Tak perlu jauh kami berjalan untuk bisa
mendapatkan pohon manggis, mereka menyebutnya sikuk. Bahkan beberapa
pohon manggis dan rambutan tumbuh di sekitar rumah warga. Untuk tampoi
sendiri, rupanya melimpah di sini.
Di tengah perjalanan menuju hutan, aku
menjumpai beberapa warga yang sedang sibuk mengupas tengkawang, memilah mana
yang sudah kering dan mana yang belum untuk nanti dijemur. Orang sini biasa
menyebut tengkawang dengan nggabang, tungkul untuk ukuran
yang besar dan tengkawang untuk yang lebih kecil. Ikut sertanya orang
tua dan muda membuktikan aktifitas mengupas tengkawang ini sudah turun
temurun.
Di samping mereka, aku mendapati salah
seorang ibu yang sedang memilah biji lada. Mereka menyebutnya sahang.
Terdapat dua jenis lada di sini, putih dan hitam. Mereka biasa merendam lada
putih sebelum dijemur selama satu sampai dua hari. Saat aku memegang beberapa
biji lada yang sedang dijemur, sontak aku bergumam dalam hati, “Betapa bagus
dan harum aroma lada di sini”.
Tak butuh waktu lama untuk mengisi penuh
keranjang kami dengan manggis dan tampoi. Aku pikir perlu ada yang
mengajarkan mereka mengelola kulit manggis supaya dapat menjadi sumber mata
pencaharian baru.
Bulan nampaknya tak menyapa malam ini.
Rintik hujan mengubah tanah jadi lumpur, memanjakan babi esok paginya.
***
Lelah perjalanan masih terasa. Tapi
semangat mencari tahu tentang dusun ini memacu langkahku semakin cepat. Aku
selalu ingin tahu tentang budaya, coba membaca kearifan lokal, menyatu dengan
alam dan masyarakat, serta menemukan keluarga baru.
Betul saja, Dusun Punti Engkaras menyuguhkan
hal itu. Beruntungnya, aku bisa berkunjung ke rumah kepala adat di sini saat
kegiatan sosialisasi. Langkahku melambat saat memasuki rumah Pak Anem, kepala
adat setempat. Sedikit sungkan, sebab ketenangan yang mencuat dari dalam rumah
Pak Anem. Rumah sederhana yang dibangun dari dinding batako tanpa cat. Terdapat
dua kamar tidur. Di depan rumah Pak Anem terlihat beberapa kulit pohon yang
sedang dijemur untuk dijadikan tali keranjang. Ia mempersilahkan kami duduk
sambil menyuguhkan duku. Pak Anem adalah sosok senior di dusun ini. Ia senang
bercerita layaknya orang tua kebanyakan. Bahasa Indonesianya pun sangat baik.
Namun ia terlihat lebih senang bercerita dengan bahasa daerah. Beruntung ada
Yeng, salah satu relawan asal Entikong yang mengerti bahasa sini. Banyak yang
Pak Anem ceritakan. Ia hobi memancing. Badannya masih tegap dan terlihat kuat
di usianya yang sudah masuk fase beruban. Ia terlihat sangat senang dengan
kedatangan kami.
Rumah selanjutnya yang kami kunjungi
adalah rumah Pak Win. Ia terlihat baru pulang dari ladang. Tangannya masih
berlumuran tanah. Aku segan karena sepertinya ia sedang sibuk. Tapi justru ia
tak sungkan mengajak kami bercerita. Karena harus berkunjung ke rumah warga
yang lain, kami buru-buru pamit, tapi rasa penasaranku menahan aku untuk
sedikit lebih lama bercerita dengan Pak Win. Lantas kuberi isyarat ke teman-temanku
agar mereka pergi duluan. Betul saja, ada cerita menarik yang kudapat dari Pak Win!
***
Anak-anak dusun Punti Engkaras seakan tak
mau kalah dengan kokok ayam di pagi hari. Kalau bukan di depan warung dekat basecamp,
pasti mereka sudah menunggu di sekolah, berseragam lengkap. Akhirnya, kami yang
harus buru-buru menyusul mereka, sebab hari ini kami akan mengajarkan mereka
upacara. Sudah lama bendera merah putih tak berkibar di lapangan upacara
Sekolah Negeri 04 Punti Engkaras. Marvel, Tina, dan Samuel menjadi petugas
pengibar bendera. Anak-anak di sini cepat belajar, aku yakin semangat merekalah
yang memacu itu semua. Tiga hari waktu latihan bagi mereka, kau tahu seperti
apa hasilnya? Akan kuceritakan saat upacara nanti.
***
Mentari perlahan jatuh ke ufuk Barat,
membuat bayanganku hampir dua kali lipat panjangnya. Anak-anak dan ibu-ibu
sudah ramai di basecamp. Sore ini kami buka learning center,
fasilitas bagi mereka belajar tambahan, mengerjakan tugas, atau sekadar
bermain. Sorot mata anak-anak dusun seakan berkisah betapa rindunya mereka
sosok kakak pembimbing, yang mau merangkul mereka, memeluk mereka, serta
memberikan mereka ilmu. Semoga kelak banyak kakak-kakak yang berkunjung ke sini
memenuhi harapan mereka.
Tak terasa, mentari sudah jauh di ufuk
Barat. Malam berganti menemani. Melepaskan penat, memberikan ruang santai bagi
warga selepas beraktifitas. Kami hadirkan hiburan lewat layar tancap. Kebetulan
sekali, beberpa tahun yang lalu, ternyata dusun ini pernah menjadi lokasi
syuting serial televisi Bocah Petualang. Mereka begitu senang melihat tayangan
yang kami ulang tersebut. Ini kali pertama mereka menyaksikannya. Bahkan
anak-anak yang dulu menjadi pemerannya kini sudah beranjak dewasa. Ada rasa
haru dan bangga bertemu mereka. Malam ini begitu gelap, namun kehangatan
bersama warga menyelimuti memberi ketenangan.
***
bersambung ke bagian 2 "Kisah dari Entikong (bagian 2)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar