Mimpi Bertemu Ustadz



Aku, siang ini, bermimpi. Sebuah mimpi yang sangat ingin kuceritakan. Adakah ia menjadi nyata.


Tiba-tiba aku berada di Masjid Agung Pangkep, sebuah masjid jami’ di kabupaten tempat aku tinggal. Sebuah masjid yang menyimpan sejuta memori masa kecilku. Masjid yang menjadi tempat aku bahagia di masa kecilku. Masjid yang telah kupautkan sebagian hatiku di sana. Seketika aku rindu mengangkat takbiratul ihram di sana.

Waktu itu menjelang isya. Kira-kira menjelang beberapa bulan sebelum Ramadan tiba. Jamaah telah ramai sebab Ustadz Adi Hidayat memberikan kajian. Aku pun tak sangka, ulama hadir di salah satu masjid kecintaanku. Saat kumandang azan isya telah rampung, aku mengitari masjid, sembari membawa pulpen yang entah apa saat itu yang kutulis, yang kuingat aku merenungi banyaknya orang yang berada di sekitar masjid tapi acuh akan panggilan shalat. Aku terus berjalan mengitari hampir setengah masjid, dari pintu Selatan menuju pintu Utara. Dalam hati geram sebab orang-orang yang tak kunjung beranjak menyeru panggilan Allah. Lalu segera kakiku melangkah memasuki masjid sebab ada yang memanggil. Beberapa jamaah menunggu, dan Ustadz Adi Hidayat seperti sibuk mempersiapkan sesuatu dan meladeni jamaah, entah apa.

Sampai langkahku di dekat mihrab. Kulihat ustadz Adi yang masih sibuk tiba-tiba memanggilku yang saat itu baru saja hendak duduk, “Ya Raji” dengan bahasa Arab. Sontak aku terkejut dan berkecamuk pikiranku. “Beliau ingat namaku?”, pikirku dalam hati yang saat itu juga merasa pernah bertemu dan berkenalan dengan beliau entah kapan dan di mana.

Istafid min hadazdal mimbar” (manfaatkan mimbar ini) lanjut beliau seraya menunjuk mimbar masjid berwarna cokelat kayu yang indah di-plitur.

Aku tertegun. Tak ingin membuat kecewa beliau dan jamaah aku langsung beranjak ke atas mimbar. Sebelum menaikinya aku berucap ketus pada Ustadz Adi, “Bil ‘Indunisiyah Thab’an?” (pakai bahasa Indonesia, kan?). Beliau jelas tersenyum seakan berkata, “Jelaslah!”. Lalu segera kutaruh di atas sajadah sebuah catatan yang sedari tadi aku bawa. “Tutarjim?” (Mau diterjemahkan? –dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia maksudnya-) tanya Ustadz Adi padaku saat melihat aku seperti ingin mengambil sebuah catatan. Mungkin pikirnya aku membawa teks ceramah berbahasa Arab.

Laa, ya ustadz” (Enggak, kok Ustadz) jawabku lekas.

Segera kunaiki mimbar. Dengan cepat berusaha kuingat hadits-hadits tentang keutamaan Ramadan dan puasa. Kubetulkan posisi mic. Kutatap wajah para jamaah. Dan mulai mengucap salam.

Tiba-tiba aku terbangun!

Oh sungguh aku ingin melanjutkan mimpiku. Ingin rasanya menunjukkan yang terbaik di hadapan seorang alim, di hadapan ustadz yang begitu aku kagumi. Ya Allah, andai mimpi itu berlanjut. Aku pun coba merangkai lanjutan mimpi itu.

“Wahai para hadirin yang Allah muliakan. Malu rasanya seorang fakir berdiri di hadapan para jamaah sementara ada cahaya yang bersinar duduk di sampingnya mendengarkan. Bagaimana mungkin seorang yang fakir ilmu, sengaja datang ke masjid ini ingin menimba lautan ilmu dari seorang alim, Ustadz Adi Hidayat lalu menyampaikan sesuatu di hadapannya!? Malu rasanya, tetapi biarkan hamba memohon izin untuk menyampaikan sedikit ilmu yang hamba miliki.

Adakah di dalam diri kita sadar merasakan bahwa Ramadan sudah di depan mata? Adakah hati kita merindu Ramadan yang mulai terlihat di kejauhan? Adakah kita menggebu-gebu menanti kehadiran Ramadan yang perlahan mendekat dan semakin mendekat?

Para jamaah yang dimuliakan Allah, sekitar dua bulan lagi Ramadan akan datang. Ada yang tahu tepatnya berapa hari lagi? Maka penting untuk kita menyiapkan seluruh jiwa raga kita menyambutnya, sang tamu agung.

Allah SWT berfirman, “Yaa Ayyuhalladziina Aamanuu kutiba ‘alaikumusshiyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina min qoblikum la’allakum tattaquun” (Telah diwajibkan atas kalian semua berpuasa sebagaimana telah wajib atas orang-orang terdahulu sebelum kalian agar kalian bertakwa) (QS. Al-Baqarah: 183)

Dan Rasulullah SAW bersabda, “Man shooma romadhoona iimaanan wahtisaaban, ghufira lahu maa taqaddama min dzanbih” (Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu) (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Man qooma romadhoona iimaanan wahtisaban, ghufira lahu maa taqaddama min dzanbih” (Barang siapa yang melaksanakan qiyam (shalat malam) di bulan Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu) (HR. Bukhari dan Muslim)

Ramadan datang sebagai bonus untuk kita semua, dengan tujuan apa? Agar kita mencapai derajat takwa. Ramadan adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk meraih ampunan.

Marilah kita persiapkan diri kita menyambut Ramadan agar Ramadan menjadi ladang kita menanam pahala. Agar Ramadan benar-benar menjadi momen dihapuskannya dosa-dosa kita. Sebab jika di dalam bulan Ramadan saja kita kehilangan kesempatan untuk diampuni lantas kapan lagi kita mendapat kesempatan yang lebih baik dari itu? Sebab jika lepas Ramadan kita tidak mencapai derajat takwa, lantas bulan apa yang lebih baik yang dapat menjadikan kita mendapat ampunan dan menggapai derajat takwa?

Berhati-hatilah wahai jamaah sekalian, sebab ternyata orang yang rugi, orang yang kehilangan ampunan di bulan Ramadan, dan orang yang luput dari derajat takwa selepas Ramadan itu banyak!

Rubba shooimin hazzhuhu min shiyaamihi aljuu’ wal‘athosy” (Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga) (HR. An-Nasai)

Sungguh merugi orang-orang yang seperti itu! Sungguh banyak jumlahnhya! Takutlah kita jikalau ada di antara yang banyak itu. Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Allaahumma ballighnaa Romadhaan, waghfirlanaa khathaayaanaa, Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annaa. (Ya Allah, sampaikanlah kami kepada bulan Ramadan, ampunilah segala kesalahan kami, ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengampun, Engkau mencintai ampunan, maka ampunilah kami)

Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Aku lantas turun berlinang air mata, mencium tangan seorang alim Ustadz Adi Hidayat dan mengucap salam takzim pada beliau.

Jika mimpiku berlanjut atau menjadi nyata, maka kira-kira seperti itu ingin kulanjutkan.
***
Ya Allah, sebahagia ini mimpi bertemu ulama, lantas sebahagia apa jika mimpiku bertemu baginda Rasul? Allaahumma sholli 'alaa Muhammad.

@rajimaulah

Aku adalah murid bagi siapa saja yang mau mengajarkanku kebaikan. Terima kasih telah berkunjung dan membaca. Silakan share jika bermanfaat.

1 komentar: